"Dih, Yola siapa anjir, mana kenal gue sama Yola" Miya hampir terbahak mendengar celetukan Dira, bisa-bisanya tuh anak ngomong gitu didepan orangnya langsung."Mending kalian keluar." Usir Somi pada Ben dan Yola.
"Iya kita keluar, btw, cepet sembuh ya Dir, gue mau keluar." Ucap Yola yang dibalas tatapan sinis dari Dira. Ya Dira mah gitu kalau gak kenal sama tuh orang, hawanya sinis mulu.
"Lo bener gak inget apa-apa soal Uncuk?"
"Ssh, dia kan sepupu gue."
"Bener deh, dia gak inget."
"Na, telfonin Alex dong. Dari tadi pagi dia gak kesini." Wajah Dira meredup.
"Gue mana punya nomernya." Ceplos Aruna, namun dengan cepat ia menepuk bibirnya sendiri.
"Lo gak punya nomernya? Sejak kapan seorang Aruna hapus nomernya si Alex? Kalau gitu telfonin Max."
Miya menatap horor Dira, gadis itu benar-benar hanya ingat masa-masa mereka SMP. Itu masih bocil loh. Dia bahkan gak tau kalau Max sudah, ah sudahlah.
"Masa iya gue disuruh nelfon orang mati." Guman Aruna yang dapat didengar oleh Qiana, alhasil Qiana terbahak.
"Lo kenapa ketawa?"
"Gak papa, cuma pengen ketawa."
"Gue kangen sama Alex, kerasa udah lama banget gak ketemu sama dia."
"Dir mending lo tidur aja deh." Key yang mungkin sudah tak tahan dengan celotehan Dira yang tak jelas meminta agar gadis itu tidur.
"Gak bisa tidur. Maunya dipeluk sama Alex."
Pliss, ini Dira bucin banget apa sama Alex.
Iya mereka semua tau kalau Dira dan Alex itu klop. Selalu nempel setiap saat.
Dan Alex itu adalah mantan kekasih Dira yang sekarang tak tau dimana rimbanya.
***
"Pusing gue ngadepin Dira yang alay di jamannya." Aruna memijat pelipisnya yang terasa nyeri.
"Kita harus cari Alex.." celetuk Somi.
"No, bukan gitu caranya. Kalau kayak gitu nanti yang ada ingatan Dira susah baliknya."
"Terus gimana Aruna?"
"Kita harus balikin ingetan Dira yang sekarang, jangan pernah bahas Alex. Kalau dia bahas Alex kita alihin aja obrolannya."
"Terus? Lo kayak gak tau aja Dira pas jaman SMP kayak gimana, alay kayak cabe cabean gitu."
"Astaga dragon, ahhh pengen makan orang gue."
"Dira kayak penderita alzheimer." Celetuk Ame.
"Heh amit-amit ya.." Miya bergidik ngeri saat Ame mengucapkan salah satu nama penyakit yang berhubungan dengan lupa ingatan.
"Ya lo lihat aja sendiri, dia kembali ke ingatan saat dia masih SMP, masih umur 13 tahun. Itu kan bisa terjadi pada penderita alzheimer."
"Tapi kan, ah gak tau lah. Lagian dia kecelakaan, bukan penyakit mental."
"Guys.." Semua diam, menatap kearah Miya yang tampak serius.
"Gue tadi kayak lihat Sella deh.."
"Dimana?"
"Koridor arah ke kamar mayat."
"Oh pulang.."
"Geblek.."
"Lah iyakan, dia kan setan, jadi pulang."
"Terserah Som terserah."
***
Ame berjalan sendirian menuju taman rumah sakit, ia ingin me-refreshkan otaknya yang terasa panas.
Gadis itu terduduk, wajahnya tertunduk menatap sepatu berwarna merah tua yang ia beli bersama para sahabatnya. Mengingat itu, ia dulu memilihnya bersama Aruna.
Ah Aruna, hatinya terasa nyeri setiap nama itu terucap. Sudah beberapa hari ini ia dan Aruna tak saling sapa.
"Boleh gue duduk?" Ame mendongak, kepalanya terangguk tanpa beban.
Ajun berdehem, "Udah berapa lama?" Dahi Ame berkerut, "Apanya?"
"Lo jadian sama Jihoon?"
"Oh itu, baru satu minggu."
"Jadi bener? Gue kira kalian gak serius."
"Sorry.."
"Buat?"
"Gue cuma mau minta maaf."
"Me, asal lo tau, gue selalu nungguin lo. Tapi setelah lihat lo yang ternyata melangkah jauh sama Jihoon buat gue sadar, gue harus mundur. Gak mungkin gue tikung sahabat gue sendiri." Ame seakan tertampar oleh ucapan Ajun, apalagi kalimat terakhir yang seakan sindiran untuknya.
"Gue pergi dulu, Aruna butuh gue." Belum sempat Ame bersuara, Ajun lebih dulu pergi meninggalkan Ame yang terdiam.
***
Haruto menatap kosong makanan di depannya, ia tak selera makan. Padahal biasanya ia akan habis dua porsi bakso. Jangankan dua, dikasih lima aja Ruto kuat habisin. Namun sekarang, nafsu makannya menghilang. Setelah ia mendengar nama Alex terucap dari bibir sang kakak.
Kenapa kakaknya harus ingat pada pria sialan itu?
"Dicariin taunya disini."
Haruto tersadar, ia menoleh, mendapati Qiana yang berdiri menatapnya. Senyumnya tiba-tiba terbit, dan Qiana lah alasannya. Cielah bocil 😶
"Makan."
"Makan, liat tuh makanan lo masih utuh, makan apa? Makan debu berterbangan?" Kadang Haruto berpikir, padahal Qiana bego, gak jelas, tapi dia bisa sayang sama gadis itu. Caranya gimana coba?
"Gimana keadaan beban keluarga gue?"
"Hah? Beban keluarga? Apa?"
"Si burung Dira."
"Istighfar To, masak Kakak lo, lo panggil beban keluarga."
"Lah dia bisanya ngabisin duit."
Qiana gemas, ia pun menjitak kepala kekasihnya itu, "Sadar diri napa, lo juga beban keluarga, lo bukan cuma ngabisin duit tapi juga buat keuangan keluarga lo seret."
"Oh gitu ya? Tapi selama ini duit Bapak Mak gue lancar-lancar aja, karena selalu gue doain tiap malam, di sepertiga jalan tol."
"Hihhhh gue gemes deh, pengen nyubit lambungnya." Dengan gemas Qiana menarik rambut Haruto, siapa tau jin jahat didalam tubuh pria itu ikut ketarik keluar.
"Arghh Qiana lepasin gak!!"
"Ihhhhhh...."
"Aaaaa.."
Nafas Qiana naik turun dengan lebay, "Gimana? Jin jahat nya udah lari?"
"Bodo ah, sekali lagi lo narik rambut gue. Lo gue end."
"Heh!! End apaan njir?!"
"Ini kdrt ya, gue bisa aja laporin lo atas tindak kekerasan."
"Bisa gak sih satu kali aja kita kelihatan adem ayem. Tiap ketemu berantem mulu." Ketus Qiana, Haruto yang melihat wajah kesal Qiana tersenyum. Yaallah manis banget senyumnya :(
"Iya-iya maaf, gak janji tapi. Kita kan terkenal nya gara-gara gaya pacaran kita yang gak jelas. Coba kalau gaya pacarannya kayak si Somi sama Lucas, kan ngebosenin."
"Kata siapa?"
"Kata Hartono Bin Hanbin lah.."
Qiana mengelus dadanya sabar, "Untung cakep, kaya pula. Coba enggak, udah gue santet sejak dini."
Panjang loh ini, 3 KM :)
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Waiji
FanfictionJudul awal => Kampung Waiji Sekarang => High School Waiji Jngn lupa voment and follow 😉