###
*Judul terinspirasi dari teman ogeb saia 🙂
Bangun ditengah malam adalah yang dilakukan oleh Qiana sekarang. Setelah tidur hampir 2 hari 2 malam, kini mata gadis itu sepertinya sudah bosan terpejam.
Setelah mengambil minuman dikulkas, Qiana menuju ruang keluarga. Ia duduk dan menatap ruang keluarga yang kini tampak banyak debu. Entah kapan terakhir dia dan keluarganya berkumpul diruangan ini.
Ia benar-benar rindu suasana dimana ia duduk diantara orang tuanya, dan Kakak satu-satunya duduk di bawah dengan beralaskan karpet. Menonton serial TV yang mampu membuat perut sakit karena terlalu banyak tertawa.
"Huftt..." Helaan nafas selalu terdengar saat Qiana mengingat semua saat-saat bahagia itu. Jika ada pilihan, Qiana memilih berada di keluarga yang berkecukupan dari pada berlimpah harta sampai bingung bagaimana cara menghabiskan uang itu. Dikasih ke orang yang membutuhkan bukannya ngurang malah makin nambah, aduh susahnya jadi orang kaya.
"Kamu gak tidur?" Suara bass yang tak asing terdengar oleh Qiana. Tanpa menoleh ia membalas, "Gak."
"Besok kan kamu sekolah, kenapa gak tidur? Nanti kamu kesiangan."
"Ya gak berangkat lah."
"Qiana jangan ngebantah..!!"
"Papa sadar gak sih siapa yang udah buat Qiana jadi kayak gini? Siapa yang buat Qiana jadi anak pembangkangan? Siapa!" Segelas air yang tak bersalah pun jadi korban kekesalan Qiana. Tak ingin semakin kesal, Qiana segera pergi dari ruangan itu meninggalkan Papanya yang merenung. Benar kata Qiana, ini semua salahnya dan Irene. Harusnya dia dapat membagi waktu dengan kedua anaknya. Percuma disesali, semua sudah terjadi. Hati Qiana dan Ben sudah terlanjur dingin pada orang tuanya.
D
itempat berbeda, namun suasana hati sama. Key menatap jendela kamarnya yang terbuka, semilir angin menerpa wajah sayunya. Jika Qiana selalu ada didekat orang tuanya, maka Key jauh dari orang tuanya. Namun yang mereka rasakan benar-benar sama, Key masih bisa terima jika orang tuanya pulang satu minggu sekali, tapi kan Key akan bosan lama-lama. Ia bisa mati bosan jika terus begini, ia anak tunggal, orang tua selalu berpergian. Bahkan pulang dari camping pun Key merasa iri saat melihat Aruna yang dijemput kedua orangtuanya, tertawa bersama Azwan adiknya. Jika Cio tak mengajaknya pulang bersama mungkin Key akan luntang luntung seperti orang bodoh di jalan. Pergi rumah sepi, pulang pun rumah sepi.
"Arghh, gini amat hidup gue..."
"Pengen mati aja rasanya, Ya Tuhan cabut nyawa gue ... Akh anjeng." Dengan kekesalan diujung kepala, Key melepar ponsel miliknya ke lantai, dan kini benda pipih itu hancur. Gak papa besok beli lagi :) orang kaya kok.
***
"Aw aw, pelan-pelan dong Bu.."
"Arghh..!!"
"Dira kamu bisa diem gak sih?! Itu Bu Kasmi lagi benerin kaki kamu, malah joget-jogetin kaki." Omel Mama Lisa, ya gimana ya, sejak tadi Dira terus jejeritan. Sekarang kaki Dira baru dipijit, sudah dua hari kakinya dijamah oleh Bu Kasmi, katanya bentar lagi sembuh tapi nyatanya gak sembuh-sembuh. Dasar pembohong.
Mama Lisa yang sejak tadi menemani putrinya pun ikut kesal pada Dira, teriakannya itu loh bisa buat telinga anda mati rasa.
"Udah Non, udah bisa buat lari-lari nih.. coba aja kalau Non Dira gak percaya." Dira memutar bola matanya jengah, sedari kemarin bilangnya gitu terus tapi Dira gak bisa lari-lari.
"Makasih ya Bu, ini sedikit buat Bu Kasmi."
"Aduh makasih ya Bu Lisa, kalau gitu saya pamit dulu."
Setelah kepergian Bu Kasmi, dua pria tampan terlihat menuruni tangga. Dira menoleh dan matanya tak sengaja bertemu dengan tatapan mata tajam milik Uncuk. Entahlah Dira bingung, sudah dua hari ini Uncuk tiba-tiba berubah padanya. Sikapnya memang tetap cuek, tapi masih ada selipan perhatian disana. Kadang Dira tersipu setiap Uncuk menggendongnya menuju kamar, atau saat Uncuk memijat lengannya yang terasa linu. Rasa takut sering hinggap dihatinya, bagaimanapun ia belum tau alasan kenapa pria itu bersikap baik padanya.
"Udah selesai Ma?" Tanya Haruto.
"Udah, kamu jagain kakak kamu dulu ya, Mama mau masak dulu."
"Hmm.."
"Gimana kaki lo?" Dira berdehem saat Uncuk tiba-tiba menyentuh pergelangan kakinya yang terlihat memar, "Udah enakan."
"Besok bisa sekolah?"
"Bisalah, gue bukan orang lemah."
"Percaya aja." Sungguh, Dira benar-benar dibuat bingung oleh sikap Uncuk. Apa pria ini hanya merasa bersalah, ya mengingat Nabila yang membuat Dira seperti ini. Tapi kenapa harus Uncuk yang merasa bersalah?
Hm, ada apa ini?!
***
Disebuah caffe yang cukup ramai, dua orang remaja tengah duduk di sudut ruangan dengan coffe di atas meja di depannya.
"Pilih salah satu, jangan tamak."
"Gue udah bilang kan gue gak suka sama dia, gue cuma anggap dia teman gak lebih."
"Tapi buat dia lo tuh spesial."
"Jujur sama gue, kenapa lo deketin dia?"
"Ya karena gue ngerasa kasihan aja sama dia, lo selalu acuh sama dia."
"Jangan deketin dia lagi."
"Kenapa?"
"Lo udah punya cewek, dan dia itu baperan. Kalau dia baper sama lo gimana? Mau tanggung jawab?"
"Gak bakal, gue tau caranya memperlakukan pacar sama temen."
"Coba lo pilih salah satu?"
"Kenapa gue harus milih disaat yang gue cinta cuma satu?"
"Gila lo, emang ya lo cuma bisa baperin anak orang doang."
"Gak jauh beda kan sama lo."
"Gue gak separah lo__"
Ciarr..
"Aduh maaf ya mbak saya gak sengaja."
"Gimana sih mbak, nanti saya kena marah sama bos saya."
"Yaudah ini uang buat ganti rugi, sekali lagi saya minta maaf mbak."
Obrolan dua remaja tadi tiba-tiba terhenti saat seorang gadis tak sengaja bertabrakan dengan pelayan, dari belakang gadis itu nampak tak asing, namun dua remaja tadi masa bodoh dan melanjutkan obrolannya.
Diluar Caffe, gadis yang sempat membuat kekacauan di dalam caffe tadi duduk di kursi. Hampir saja ia ketahuan membuntuti dua pria yang akhir-akhir ini hampir membuatnya gila. Kini cukup tau saja, ada rasa senang namun rasa sakit lebih mendominasi sekarang.
"Apa gue harus bilang sama Ame?"
###
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Waiji
FanfictionJudul awal => Kampung Waiji Sekarang => High School Waiji Jngn lupa voment and follow 😉