Seorang pria dengan setelan santai berjalan di koridor rumah sakit. Ia baru saja kembali dari Paris, sekarang ia bertujuan untuk mengunjungi Omanya yang tengah sakit."Oma.."
"Hai sayang, kapan kamu pulang?" Wanita tua yang tengah duduk diatas ranjang sambil bersandar pada kepala ranjang itu tersenyum sambil merentangkan tangannya untuk memeluk sang cucu.
"Barusan, langsung kesini." Pria berusia 18 tahun itu memeluk sang Oma dengan penuh rasa rindu.
"Sendirian? Kamu bilang kamu mau datang sama pacar kamu."
"Dia lagi sibuk Oma, lain waktu ya kalau dia bisa."
"Iya deh, suapin Oma dong."
"Sini, aku suapin."
"Kamu gak kangen sama teman-teman di Indonesia? Kamu kayaknya betah di Paris."
Pria itu hanya tersenyum, tak berniat membalas ucapan sang Oma.
"Oma kangen sama dia Lex."
***
Setelah pulang sekolah, Aruna segera menuju rumah sakit bersama Key dan juga Miya. Hanya bertiga, Somi dan Ame pulang karena lelah atau mungkin tengah bermesraan ria dengan sang kekasih, siapapun tak tau. Sedangkan Qiana, harus tetap berada di sekolah karena ia mengikuti salah satu ekstra.
"Aduh mampus, handphone gue ketinggalan di mobil. Bentar gue ambil dulu." Aruna berputar balik dan segera berlari menuju tempat parkir.
Ia mengambil handphone dan juga satu permen yang ada di atas dasbor mobil. Lumayan kan.
Ia sibuk membuka bungkus permen sampai tak memperhatikan jalan, alhasil ia menabrak seseorang atau orang itu yang menabraknya? Entahlah yang jelas sekarang permen yang ingin ia makan harus rela terjatuh ke lantai.
Aruna kesal, ia menoleh, "Hai Mas, kalau jalan lihat-lihat dong." sekilas, Aruna tampak kenal dengan punggung lebar itu.
Pria itu berbalik, wajah kesal yang awalnya tampak jelas di wajah Aruna kini perlahan menghilang digantikan dengan wajah terkejut. Sama sepertinya, pria itu juga terkejut, tangannya terangkat untuk membuka kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya.
"Aruna?"
Apakah ini kebetulan? Pria itu kembali setelah Dira menginginkan kehadirannya.
"Alex.." pria itu mendekat, "Long time no see Aruna." Mata itu masih sama, setiap melihat Alex, maka akan ada Max disana. Dan itulah yang Aruna lihat sekarang. Seolah ada Max di depannya.
"Hm, gue harus pergi."
Alex menahan lengan Aruna, "Dimana Dira?"
Hatinya berdenyut, ia pikir, pria ini telah melupakan semuanya. Namun masih sama, nama Dira yang selalu ia cari.
Perlahan, Aruna melepas cekalan tangan Alex, "gue pergi."
Mungkin ini bisa ia jadikan alasan mengapa ia tak mau memenuhi keinginan Dira.
Ia tak mau merasakan sakit yang pernah ia rasakan 2 tahun lalu.
***
"Miyabi!!"
Brakk..
"Aish!! Apaan sih hah?!"
"Kalau dipanggil tuh nyaut, jangan diem doang kayak gak bernyawa."
"Ada apa sih? Ganggu orang aja." Miya kesal, ia baru pulang dari rumah sakit, baru saja mau naik ke kasur empuknya, menikmati pijatan gaib dari bawahnya. Uh sungguh nikmat.
"Gimana si Dira?"
"Baik, kata dokter tadi, kalau gak besok ya lusa dia udah boleh pulang."
"Hm oke deh."
"Tumben nanya Dira.."
"Gue cuma khawatir sama dia, kasihan gue sama Bang Uncuk."
"Buat apa kasihan sama tuh buaya? Ini tuh karma ya, dia campakin Dira, Dira balas gak inget sama dia. Masih mending Dira inget kalau dia sepupunya, coba kalau Dira amnesia total, dia gak bakal inget sama kita bahkan sama dirinya sendiri."
"Bi, lo cuma tau sudut pandang dari Dira bukan Bang Uncuk. Kalau lo lihat dari sudut pandang Bang Uncuk, cerita bakal beda."
"Gak peduli dan gak mau tau. Udah sana keluar."
"Btw, cewek gue baru Bi, bukan si Sintia lagi, udah ganti jadi Siffa."
"Bodo amat, mau Sintia mau Siffa, buru aja semua tuh cewek berinisial S."
"Jangan cemburu gitu dong Bi, gue tetep sayang kok sama lo." Dobby mengacak gemas rambut Miya yang sudah berantakan karena ulahnya tadi.
"Dobby, diem gak! Sana keluar! Jangan dekati aku."
"Hm oke gue keluar, btw lagi Bi, nanti malam temen-temen gue dateng, ada Arthur. Lo jangan kegatelan."
Bugh..
"Uhukk.." Dobby kesakitan, sedangkan Miya malah meniup kepalan tangannya yang tadi ia gunakan untuk memukul perut kotak-kotak milik kembarannya itu.
"Mama, Miya jahat..!!"
"Dasar anak Mama."
***
"Hai Dir.." Dira mendongak, melihat Uncuk yang tersenyum kikuk di samping ranjangnya. Tangan kanannya membawa sebuah bingkisan yang tak Dira tau apa itu.
"Lo gak ada akhlak ya Bang, sepupu sakit malah baru dateng. Kemarin kemana aja?"
Dira tak mengingat lebih tentangnya, yang ia tau Uncuk hanyalah sepupunya bukan mantan kekasihnya.
"Nih, tadi gue beli ini."
"Apa?"
"Buka aja."
Dira membuka bingkisan itu, mulutnya terbuka lebar kala tau apa yang ada didalam sana. "Woah, ini buat gue? Serius? Makasih Bang." Uncuk tersenyum miris, bisakah panggilan 'Bang' dihilangkan?
"Lo udah makan?" Tanya Uncuk setelah ia melihat makanan yang masih utuh tak tersentuh diatas meja nakas.
"Belum."
"Gue suapin." Sejenak Dira terdiam, ia lalu menatap Uncuk heran. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, bayangan Uncuk yang memeluknya sekilas tampak namun secepat itu juga menghilang. Matanya terpejam erat kala merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya.
"Lo gak papa?"
"Kepala gue sakit?"
"Jangan pikirin apapun, sekarang lo makan."
"Lo tiba-tiba perhatian sama gue? Ada apa?"
"Sepupu gue lagi sakit, jadi gue harus perhatian sama dia."
"Kita gak sedeket itu buat saling peduli." Rasanya bibir Uncuk gatal ingin mengatakan semuanya pada Dira, namun mengingat ucapan Hanbin malam itu membuat niatnya terurungkan.
"Gak boleh kalau gue peduli sama lo?"
"Bolehlah, jarang-jarang lo peduli sama gue."
"Cepet sembuh Dir." Sentuhan Uncuk di pipinya terasa seperti sengatan listrik bagi Dira. Kenapa? Sebenarnya ada apa dengan dirinya? Reaksinya sungguh berbeda jika Uncuk berada di sampingnya, apalagi jika Uncuk memperlakukannya seperti ini. Terlihat seperti seorang kekasih daripada seorang sepupu.
Uhuy
:)

KAMU SEDANG MEMBACA
High School Waiji
FanfictionJudul awal => Kampung Waiji Sekarang => High School Waiji Jngn lupa voment and follow 😉