Harus kuat

112 12 4
                                    


Sudah dua hari sejak kejadian kemarin, kini Aruna masih di rawat di rumah sakit. Ame sudah pulih dan Dira memutuskan untuk kembali sekolah setelah ia ingat sebagian ingatannya.

Seperti saat ini, gadis dengan tinggi di atas rata-rata itu tengah bersiap untuk berangkat sekolah.

"Kamu yakin mau sekolah Dira?" Tanya Mama Lisa.

"Iya Ma, Dira bosen di rumah. Lagian kalau Dira di rumah terus, kapan ingatan Dira bakal pulih?" Berbeda dengan Dira yang santai, Lisa kini sudah menegang. Anak gadisnya kembali membahas hal itu lagi.

"Dira maafin Mama, Mama benar-benar gak bisa kasih tau kamu soal itu, Mama khawatir kalau kamu__"

"Ma, kalau Mama bilang sejak awal, mungkin sekarang ingatan Dira udah pulih, dan Dira gak kayak orang bego yang gak tau apapun."

"Dira.."

"Udah, Dira mau berangkat." Tanpa mengucap salam, Dira segera pergi dari hadapan Lisa.

Berangkat bersama dengan Papanya adalah ide yang bagus untuk sekedar mengingat kembali memori kelam yang sedikit demi sedikit mulai muncul di ingatannya.

Sampai di sekolah, tanpa berkata Dira langsung keluar dari mobil. Hanbin hanya menghela nafas melihat sikap putrinya yang dingin padanya, ah pada keluarganya. Ia merasa bersalah pada Dira karena tak memberitahu gadis itu yang sebenarnya, dan inilah akhirnya. Dira marah padanya.

"Hai Dir.." Dira menoleh dan melihat Key yang tersenyum padanya.

"Sendirian? Yang lain mana?"

"Berangkatnya nanti, palingan mereka telat."

Dira manggut-manggut, mereka lalu berjalan menuju kelas. Namun baru beberapa langkah, seseorang tiba-tiba berhenti di depan mereka.

Key melihat Dira yang terlihat gugup. Ia lalu beralih menatap Uncuk yang tampak santai.

"Gue mau ngomong sama lo Dir."

"Ngomong apa?"

"Ikut gue." Tanpa permisi, Uncuk menarik lengan Dira. Membawa gadis itu ke belakang sekolah.

"Ada apa?" Tanya Dira.

"Kemarin lusa lo kemana? Gue cariin lo, tapi gak ada. Karyawan perpustakaan bilang kalau lo pergi sama cowok. Siapa?"

Dira menatap Uncuk dengan tatapan kesal.

"Kenapa sih kepo banget?"

"Bukannya gue kepo, gue tuh khawatir sama lo. Lo tiba-tiba ngilang di saat kondisi lo gak baik, dan lo pergi sama gue, jadi pulang harus sama gue."

"Kok lo jadi perhatian? Lo udah sadar kalau lo cintanya sama gue bukan sama Nabila?"

"Iya, gue cintanya sama lo. Puas lo? Gue gila nungguin lo sadar, dan saat lo sadar nama orang lain yang lo ucap."

"Gimana rasanya? Sakit gak? Gue yakin rasanya gak sesakit yang gue rasain."

"Dir, gue cuma minta satu hal sama lo. Ayo berjuang bersama."

Dira terdiam.

"Ayo berjuang lagi, gue bakal usaha biar kita bisa bersama. Lupain orang di masa lalu lo, siapapun itu, gue harap lo udah gak ada rasa sama dia."

"Maaf Bang, gue males berjuang sama orang yang udah sia-sia in orang yang sayang sama dia." Dira melangkah mundur, ia lalu memutar tubuhnya dan melangkah meninggalkan Uncuk yang membeku.

***

Ajun menatap wajah sayu Aruna yang kini masih terlelap.

Tangannya terangkat untuk mengusap pelan rambut hitam milik adiknya. Matanya tiba-tiba terasa panas saat mengingat ucapan orang tuanya malam kemarin, kenyataan yang sulit untuk ia terima.

Bagaimana bisa Aruna menahan semua ini sendiri?

Harusnya ia tau, ia Kakaknya.

Ajun segera mengusap pipinya saat melihat kelopak mata Aruna bergerak pelan.

Mata itu terbuka, melihat langit kamar rumah sakit yang tampak putih terang. Bibir pucatnya tersenyum setelah matanya melihat sang Kakak yang menatapnya tanpa ekspresi.

"Mau minum?" Tanya Ajun.

Aruna mengangguk, Ajun lalu membantu gadis itu untuk meminum.

"Gimana? Masih pusing?"

"Enggak."

"Na, untuk yang ke-empat kalinya Abang bilang ini. Mau ya jalani terapi.."

Aruna tak menggubris perkataan Ajun, ia justru menatap kosong pintu kamarnya.

"Dek, demi Bunda sama Ayah. Kamu anak gadis satu-satunya, kamu paling disayang sama Ayah Bunda, kamu mau buat Ayah Bunda sedih? Kamu masih punya kesempatan."

"Aruna... Aruna gak tau Bang, Aruna bingung." Aruna mengalihkan pandangannya, airmatanya kembali turun setiap bicara dengan Ajun. Ditambah bahasa Ajun yang lembut, membuatnya terasa tersentuh.

"Kamu cewek yang kuat Dek. Kamu pasti bisa, percaya kalau Kamu bisa sembuh dan hidup normal."

Gadis itu tak dapat menahan tangisnya, isakan yang cukup memilukan terdengar. Tak tahan melihat adiknya menangis, Ajun lalu memeluk Aruna, mengusap punggung itu dengan lembut.

"Demi Ayah, Bunda, Abang, sama Azwan. Jangan lupain sahabat kamu yang selalu dukung kamu, mereka mau kamu tetap hidup. Dan satu orang yang mau kamu tetap bertahan, dia selalu nungguin kamu. Kamu mau buat semua orang kehilangan? Abang mohon, bertahan Aruna. Kamu bisa."

Tak hanya mereka yang larut dengan suasana. Nyatanya ada satu orang yang kini tengah menyembunyikan tangisnya di balik topi hitam yang menutupi kepala hingga sebagian wajahnya.



Hai..

Pelan tapi pasti ya guys.

Ngetik ini sambil dengerin lagu covernya Mbak Rose, If it is you..

🙂

High School WaijiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang