Booommm

91 13 23
                                    


Miya melangkah sendirian di koridor sekolah yang terlihat sepi. Bukan karena semua murid sudah pulang, tapi karena Miya yang keluar kelasnya kecepetan.

Niatnya sih cuma satu, ke parkiran buat pulang bareng sama Arthur.

Senyumnya mengembang saat melihat pria yang ia pikirkan sudah menunggunya.

"Hai Arthur.." Pandangan Miya beralih pada objek di belakang pria itu, "Lo bawa motor? Tumben?"

"Gue mau pulang sama Acha, mending lo pulang bareng Dobby."

"What?! Dobby ya udah pulang sama pacarnya lah."

"Yaudah lo pulang sama temen lo."

"Mereka pulangnya ntar."

"Yaudah naik taksi." Miya menatap Arthur sinis, giginya menggertak menahan kekesalannya pada pria datar itu.

"Apa sih yang buat lo suka sama tuh cewek cupu?"

"Dia istimewa."

"Istimewa dari Hongkong? Cantik juga cantikan gue, seksian juga gue, famous juga famous an gue, kurang perfect apa coba?"

"Dia beda."

"Beda? Beda gimana? Ohhh, dia manusia neraka? Jadi beda? Iya?"

"Mending lo pulang." Sungguh, gendang telinga Arthur rasanya mau pecah denger suara Miya yang tak ada kata merdunya.

"Oke gue bakal pulang, lo mau pulang bareng Acha kan?" Arthur mengangkat alisnya dengan wajah yang datar.

"Oke.." Miya menyatukan ibu jarinya dengan jari telunjuk membentuk tanda ok, namun tiba-tiba Miya berjongkok.

"Lo ngapain?"

Seesssttt

Mata Arthur melotot kala Miya melakukan hal yang tak ia duga, "Heh lo ngapain?"

Arthur mencoba menarik tangan Miya yang sibuk menguras angin di ban depan motor Arthur, Miya menahan tangannya, ia terus menekan lubang kecil itu membuat suara desisan keluar dari sana.

"Ahhhh selesai." Miya berdiri, ia menepuk-nepuk tangannya seolah membersihkan debu-debu yang menempel ditelapak tangannya.

"Haha, lo gila hah?" Arthur tak habis pikir dengan gadis di depannya ini.

"Enggak. Yaudah gue pulang dulu ya, selamat mendorong-dorong ria motor dengan pujaan hati anda, Tuan Arthur." Miya melangkah pergi dari hadapan Arthur tanpa peduli dengan celotehan Arthur yang terngiang-ngiang di telinganya.

"Gue dendam sama lo cewek udik. Awas aja kalau lo muncul di depan gue, gue tendang kaki lo, gue mutilasi lo. Arghhh.."

Miya berhenti, ia lalu menunjukkan jari tengahnya tanpa menoleh sedikitpun. Nyatanya celotehan gak guna dari Arthur membuat sudut bibirnya terangkat.

"Ck, sialan.. awas aja yah lo Arthur, gue bakal buat lo ngemis-ngemis cinta ke gue, gue bakal buat wajah datar lo itu senyum karena gue. Lihat aja, siapa yang bakal menang."

Miya tersenyum, "Gak ada kata kalah dalam kamus hidup seorang Miya binti Bapak Dongi."

"Gue bakal buat lo benci sama Acha, cih cewek yang polos luarnya doang juga. Padahal aslinya mah kayak setan."

"Akhhhh..." Gadis itu mencak-mencak tak jelas di pinggir jalan yang panas, "Arghhh, ih gue kesel sama lo yah anaknya Bapak Bobby. Hiiihhhh, gue greget loh ini."

"Haaaa gue takut kulit gue item.." Miya mewek, ia memeluk lengannya yang tidak tertutup.

Tin.. tin..

Miya menoleh, melihat bingung ke mobil yang kini berhenti di sampingnya.

Kaca mobil terbuka, menampilkan sosok yang tak asing di mata Miya.

"Mau tumpangan?"

"Bara?"

-
-
-

Ame menggengam tangannya gugup, ia tau apa yang akan ia dengar nanti. Wajahnya terus tertunduk, seakan takut dengan fakta yang ada.

"Ame.." sebisa mungkin, Ame mencoba untuk mengangkat wajahnya, menatap pria yang kini duduk di seberangnya.

"Kita gak boleh lanjutin ini, ini salah Me."

Ame mengusap wajahnya gusar, matanya berkaca-kaca, "Iya, Ame tau ini salah Kak. Tapi Ame gak bisa, Ame gak bisa kalau harus berhenti."

Jihoon meraih tangan gadis itu, mengusapnya pelan, memberi sentuhan lembut layaknya seorang Kakak pada adik perempuannya.

"Kita gak bisa terusin ini, Orang tua kita gak bakal mau terima semua ini, kita salah Ame."

Ame terisak, "Walaupun kita gak sepupu juga Ame gak bakal bisa dapetin Kakak. Karena yang ada di hati Kakak cuma Aruna, bukan Ame."

Jihoon terdiam, ia bergeming, hatinya terasa nyilu mendengar isakan Ame. "Maafin gue Me, harusnya gue gak mulai semua ini."

"Ame yang harusnya gak baperan."

Jihoon tak tahan, ia beranjak lalu mendekati Ame dan memeluk gadis itu, mencoba memberi ketenangan seorang Kakak pada adiknya. Walau hanya adik sepupu.

"Maaf.."

Satu kata, hanya satu kata yang Jihoon ucapkan. Bibirnya terasa kelu, ia benci karena telah membuat Ame menangis.

Ame menggengam erat jaket Jihoon, ia ingin marah, ia ingin teriak, namun semua itu ia tahan, ini semua salahnya. Kenapa ia tak bisa menahan perasaannya malam itu?
Harusnya ia tetap diam dan menghapus rasa itu sendiri, ia bodoh hanya karena cinta. Cinta yang sebenarnya tak bisa ia miliki.

"Maaf Kak, maaf."

Siapa yang udah ngeh kalau Ame sama Jihoon sepupuan?

Hahha, aku aja baru tau :)

Bye

High School WaijiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang