Akhirnya

90 16 14
                                    


Pyarrrr..

Brukk..

"ARUNA!"

Jihoon segera berlari menuju Aruna kala melihat gadis itu jatuh pingsan. Bukan cuma pria itu, Ajun dan para temannya yang lain juga ikut berlari kearah Aruna. Bahkan para murid lainnya pun mulai mendekat untuk menonton.

"Aruna?!"

"Maksud lo apa bitch!" Tangan besar Ajun sebentar lagi akan menampar pipi Sella jika sebuah tangan tak menahan tubuhnya.

"Bang tahan.. lo gak boleh emosi." Azwan menahan Ajun agar pria itu tak kelewat batas.

"Jangan urusin tuh cewek, urusin adek lo!" Geram Jihoon.

Sedangkan Sella masih terdiam setelah apa yang ia lakukan tadi. Matanya tiba-tiba memerah, apa yang telah ia lakukan tadi?

Melempar gelas ke kepala Aruna?

Haha, kenapa ia sejahat itu?

Tubuhnya tergeser saat seseorang melewatinya. Ia melihat Aruna yang tampak lemah di gendongan Jihoon.

Matanya mengarah ke pojok kantin, dan melihat seseorang yang kini tengah tersenyum sambil mengaduk-aduk minumannya.

***

Jihoon terus berlari ke arah UKS, melihat darah yang terus mengalir dari pelipis juga hidung Aruna membuatnya cukup merinding.

"Bang, kondisi Aruna lumayan parah, mending kita bawa ke rumah sakit aja." Miya menghadang Jihoon yang terlihat kewalahan.

"Bener kata Miya, kita harus bawa Aruna ke rumah sakit." Mendengar ucapan Ajun, Jihoon lalu memutar tubuhnya dan berlari menuju tempat parkir.

"Kalian disini aja, ijinin kita, bilang kalau kita pergi ke rumah sakit." Miya dan Qiana berhenti setelah Ajun mengatakan hal itu. Mereka lalu mengangguk.

"Hati-hati kak."

"Gue merasa bersalah." Miya memeluk Qiana dari samping, "Gak perlu merasa bersalah, ini semua salah Sella. Jadi tenang aja, Aruna bakal baik-baik aja."

***

"Ajun dimana Aruna?" Bunda Rose yang baru tiba di rumah sakit terlihat khawatir, ia sangat mengkhawatirkan putri satu-satunya itu.

"Di dalam Bun, Bunda tenang dulu." Ajun memeluk Bundanya agar wanita itu tenang, namun bukannya tenang, Rose malah menangis.

"Kok bisa? Gimana ceritanya Bang?" Tanya Ayah June yang berdiri di samping istrinya.

"Nanti aja Yah ceritanya."

"Bunda takut kalau sama Aruna kenapa-kenapa, Bunda gak bakal maafin orang yang udah buat Aruna kayak gini."

Langkah Azwan yang hendak mendekat seketika berhenti, hatinya mendadak iri pada sang Kakak yang begitu disayang oleh Bundanya. Azwan segera menggeleng, ia tak boleh iri. Bundanya bersikap seperti itu karena kakaknya tengah sakit, jika ia sakit pun ia juga akan di manja oleh orang tuanya.

Pintu ruangan itu terbuka, "Orang tua pasien?" Tanya Dokter kala melihat orang tua Aruna yang berdiri di depan pintu.

"Iya Dok, kami orang tua pasien." Dokter itu melihat beberapa anak muda yang juga berada disana, ia lalu kembali melihat kearah orang tua Aruna.

"Ada hal penting yang ingin saya sampaikan, jadi kita bicarakan ini di ruangan saya."

"Baik Dok, ayo Bunda."

June dan Rose tampak was-was, Dokter itu juga terlihat tampak serius dan sibuk melihat ke layar laptopnya.

"Saya rasa ini waktu yang tepat untuk mengatakan hal penting yang tidak kalian ketahui. Putri kalian, Aruna, mengidap penyakit yang cukup serius." Rose tak kuasa menahan tangis, ia memeluk suaminya yang hanya diam tak tau harus bereaksi seperti apa.

"Berdasarkan hasil dari CT-Scan beberapa bulan lalu, Aruna mengidap penyakit tumor otak."

Dokter itu melihat kedua orangtua yang kini nampak cemas, terlalu terkejut dengan kabar yang mereka dengar. Mereka bahkan tak melihat hasil CT-scan yang ia berikan.

"Bantu putri kami Dok." Ucap June lirih, tanpa sadar airmatanya mengalir.

Melihat air mata June, Dokter Riyan merasa tersentuh, selama ini ia yang selalu menjaga Aruna. Bahkan menganggap Aruna sebagai adiknya, dan kini ia juga merasa terpukul dengan keadaan Aruna. Dulu ia selalu berkata pada Aruna agar gadis itu mau mengatakan yang sebenarnya pada orangtuanya, namun gadis itu menolak dan mengancam tak mau menjalani pengobatan.

"Untuk menghilangkan tumor ini kita harus menyayat kulit dan membuka tengkorak kepala sehingga bisa tepat sasaran. Tapi operasi ini sangat berbahaya, jika melesat Aruna bisa saja koma atau kritis, atau mungkin mati." Tangis Rose semakin deras, seberat inikah beban Aruna selama ini? Dan ia tidak tau apapun tentang putrinya?

"Lakukan yang terbaik untuk Aruna Dok, saya mohon. Apapun akan saya lakukan, tapi tolong putri kami."

"Saya tidak menyarankan operasi untuk Aruna, banyak pasien penderita tumor ataupun kanker otak dapat hidup dengan baik sebelum operasi, namun menjadi mudah lemah, kondisi fisik menurun drastis, dan juga cepat meninggal setelah operasi. Tingkat keberhasilan operasi pun sangat rendah."

Dokter Riyan menarik nafas sejenak, "Saya sangat menyarankan Aruna untuk melakukan terapi K3. Tumor yang ada pada otak Aruna bertahap akan menyusut jika dia rutin menjalani terapi. Terapi itupun tidak menimbulkan efek samping, saya yakin Aruna akan baik-baik saja jika menjalani terapi tersebut."

"Jika itu yang menurut Dokter terbaik, maka lakukanlah. Saya tau Dokter sangat peduli pada putri kami."

"Saya sudah menganggap Aruna sebagai adik saya sendiri. Tolong bujuk Aruna agar mau menjalani terapi ini, saya sudah berkali-kali membujuknya, namun dia selalu menolak dan memilih meminum obat pereda nyeri."

"Baik Dok, terima kasih sudah menjaga Aruna selama ini."

"Sama-sama."

"Kami permisi."

Dokter Riyan mengangguk pelan, hari ini ia tidak bertindak profesional. Harusnya ia mengatakan pada mereka untuk memilih operasi, karena itulah peraturan rumah sakit ini. Namun ia tak bisa, karena ini adalah Aruna. Bukan orang lain.

Hai gaessss

Berasa jd Dokter gue 😶

Oh ya, slmat menunaikan ibadah puasa. Semangat puasanya yes, kalau bisa jngn bolong :)

Bye

High School WaijiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang