[Aku yakin, pasti kalian semua tahu bagaimana cara menghargai penulis.]
Jangan lupa vote, coment, dan bagikan ke teman-temannya atau sosmed.
Typo bertebaran.
Happy reading.
***
56. JUST FRIEND
Zelia berjalan-jalan santai di alun-alun Kota yang terlihat lumayan ramai mobil dan motor berlalu lalang. Setelah, Albarian mengantarkannya pulang, gadis itu tidak masuk ke dalam rumahnya. Dia menghentikan langkah kakinya di teras rumahnya lalu melirik ke arah Albarian yang telah menjauh dan menghilang dari pandangannya dengan motor sport berwarna putih.
Zelia menendang botol minuman yang tergeletak di trotoar ke sembarang arah. Langit melihatkan malamnya dengan jelas. Bintang dan bulan bersinar terang, seakan-akan cuaca terlihat bagus. Tidak akan ada hujan. Tapi, angin malam terasa dingin dan mencekam, hingga menusuk ke tulang-tulang gadis itu.
Zelia memeluk tubuhnya sendiri sambil mengusap-usap bahunya, agar terasa sedikit hangat. Gadis itu mengarahkan pandangannya ke arah kursi panjang di tepi trotoar. Kursi yang terbuat dari besi, tanpa sandaran. Gadis itu duduk sambil menatap ke arah jalan raya yang semakin lama semakin sepi.
Sesekali, Zelia menundukkan kepalanya lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia mendongak lalu menghela nafas panjang -mencoba mengambil beberapa oksigen yang bisa dia dapati.
"Apakah benar Albarian akan tunangan?" tanya Zelia entah ke siapa.
"Kalau itu benar."
"Bagaimana dengan nasib gue?"
"Apakah Albarian akan memutuskan gue?"
"Dan pergi dengan gadis lain?"
"Jadi, untuk apa dia memberikan harapan untuk gue?"
"Untuk apa dia menjadikan gue sebagai pacarnya?"
"Habis manis sepah dibuang."
"Perasaan gue seperti dipermainkan."
"Semua cowok itu brengsek!" Zelia tertunduk kaku lalu menenggelamkan wajahnya di telapak tangannya.
"Enggak semua cowok," potong seseorang dari belakang Zelia.
Zelia mendongak lalu menoleh ke arah belakang. Dia mendapati Davandra dengan jaket hitam yang memiliki nama punggung 'Foster'. Cowok itu duduk di sebelah Zelia. Mereka berdua menatap ke arah jalan raya yang hanya tersisa beberapa kendaraan yang berlalu lalang.
"Cowok itu brengsek. Suka nyakitin hati perempuan," ucap Zelia menatap nanar jalanan. Lampu jalanan yang temaram menemani keheningan mereka berdua tmyang tercekat dalam malam nan semakin sunyi.
"Setiap cowok pasti mempunyai alasan mengapa dia berbuat seperti itu," ucap Davandra sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya.
Zelia menoleh ke arah Davandra -menatap cowok itu heran. "Maksud lo?"
Davandra juga menoleh ke arah Zelia ,hingga mereka saling beradu tatapan. "Gue meninggalkan lo, karena gue nggak mau lo sakit hati."
Apakah putus itu tidak menyakitkan?
Apa yang ada di otak cowok itu?
"Gue nggak sempurna, Ze. Gue hanya manusia biasa yang mempunyai penyakit jantung. Dan gue nggak mau lo mencintai gue terlalu dalam."
"Dan pada akhirnya, gue bakalan ninggalin lo untuk selamanya," lanjut Davandra lirih lalu tersenyum kepada Zelia dan kembali menatap jalan raya yang terlihat sudah sepi.
"Gue nggak mau lo terluka. Lo berhak bahagia. Tapi, bukan dengan gue."
Oke, paham. Tidak harus dimiliki, cukup hanya memiliki. It's hurt.
Mereka berdua semakin tercekat dengan keheningan malam. Hanya ada suara gemercik dedaunan kering yang terjatuh di jalanan raya. Angin malam terus berhembusan, hingga membuat tubuh Zelia tercekat dalam kedinginan yang menembus tulang-tulangnya.
Bibir Zelia menggigil. Dia memekuk erat tubuhnya sendiri berniat untuk menghangatkan tubuhnya sendiri. Gadis itu mengenakan baju yang memperlihatkan bahu berwarna putih. Oleh karena itu, dia merasa sangat kedinginan. Davandra menoleh ke arah Zelia. Dia menyadari, kalau gadis itu kedinginan.
Davandra mengambil tindakan. Dia membuka jaket hitamnya yang dibuat khusus untuk geng Foster. Jaket kesayangan Davandra. Dia menutupi tubuh Zelia dari belakang tubuh gadis itu lalu melengkungkan tangannya di pinggang Zelia. Dan mendekatkan tubuh gadis itu yang nyaris membuat mereka bersentuhan. Davandra mencoba menghangatkan tubuh Zelia sambil menatap ke arah jalan raya.
Zelia mendongak menatap Davandra. Tanpa, disuruh air matanya menetes dengan sendirinya. Ternyata, dia salah sangka kepada Davandra. Dia mengira Davandra memutuskannya karena gadis lain. Dia juga masih bisa merasakan bagaimana perhatian Davandra yang pernah dia dapatkan dulu.
"Tapi, bagaimana dengan-" ucap Zelia terpotong.
"Lidya?" tebak Davandra.
"Hm." Tebakan Davandra benar.
Davandra kembali menoleh lalu mendapati air mata Zelia yang jatuh. Cowok itu menyekanya lalu kembali melingkarkan tangannya setengah lingkaran ke pinggang Zelia. "Jangan menangis."
"Hm."
"Lidya adalah sepupu gue. Dia sering mendapatkan perlakuan kasar dari orang tuanya karena dia adalah anak haram. Gue kasihan sama dia," jelas Davandra.
"M-aaf," ucap Zelia bergetar dengan bulir air mata yang kembali jatuh, hingga mengenai punggung tangan Davandra.
"Nggak papa."
Cepat-cepat Zelia menyeka air matanya lalu menatap nanar jalan raya yang kosong melompong. Beberapa angkringan sudah tutup dan mematikan lampunya.
Davandra kembali menatap jalanan kosong itu. "Lo masih ada rasa sama gue, Ze?"
"Rasa?"
"Hm?"
"Jujur, gue merasa kecewa saat lo putusin. Beberapa kali gue menangis mengingat semua kenangan bersama lo. Kenangan indah kita. Hingga, gue pernah berantem sama Albarian gara-gara gue bilang kalau gue sayang sama lo."
Zelia menoleh ke arah Davandra dengan mata berair-air. "Karena gue takut kehilangan orang yang gue sayang."
Zelia menangis tersedu-sedu dengan reflek dia memeluk Davandra erat. Dia memeluk cowok itu dari samping. Davandra mengelus-elus lembut rambut Zelia dengan tangan kanannya sambil menatap Zelia dengan senyuman.
"Gue paham," ujar Davandra.
"Kehilangan orang yang kita sayang itu memang menyakitkan." lanjut Davandra.
"Itu sebabnya, gue mutusin lo. Gue nggak mau lo terlanjur sayang sama gue. Hingga akhirnya, gue membuat hati lo lebih sakit."
"Gue ikhlas, kok. Kalau lo sama Albarian. Dengan syarat lo harus bahagia. Jika, lo menangis ataupun sakit hati karena dia."
"Gue berjanji. Gue akan membalaskan sakit hati lo. Karena..."
"... gue sayang sama lo, Ze."
Zelia mendongak menatap wajah tampan Davandra sambil tersenyum. Mereka saling beradu tatapan. "Gue juga sayang sama lo, Dav. Gue sayang..."
"... sebagai sahabat."
Mereka tersenyum. Walau ada yang tersakiti. It's hurt.
Haruskah gue membuka hati untuk Davandra? Tapi, bagaimana dengan Albarian? Batin Zelia.
Gue bodoh! Albarian akan tunangan. Sedangkan, gue hanya pelarian, batin Zelia remuk.
Sakit, tapi tak berdarah.
-oOo-
KAMU SEDANG MEMBACA
Albarian dan Zelia [ Open Pre-order ]
Teen Fiction"Kalau mau cium gue jangan ragu-ragu gitu!" sambar Zelia membuat Albarian mematung diam. "Ciuman gue mahal!" Sungut Albarian. __________________ Baca aja!! Aku tantang kalian membaca part 13 dan 14, kalau nggak suka baru tinggalin kalau suka, baca d...