70. JANJI?

6.3K 522 20
                                    

[Aku yakin, pasti kalian semua tahu bagaimana cara menghargai penulis.]

Jangan lupa vote, coment, dan bagikan ke teman-temannya atau sosmed.

Tebarkan komen sebanyak-banyaknya!

Happy reading.

***

70. JANJI?

"Maafin, gue, Ze," ucap Albarian. Albarian dan Zelia tengah berada di taman belakang sekolah. Mereka berdua sedang duduk di kursi taman. Saat menolong Zelia tadi, Albarian langsung membawa gadis itu pergi.

Zelia membuang wajahnya dari Albarian. Raut wajah gadis itu terlihat sendu. Dia masih marah sama Albarian. Gadis itu tahu kalau besok adalah hari pernikahan Albarian dan Karina.

"Udah, jangan marah sama gue lagi, dugongnya Albarian," ucap Albarian imut sambil menusuk-nusuk pipi Zelia. Gadis itu masih manyun. Dia terus saja membuang wajahnya, menoleh ke samping.

Cup.

Albarian mengecup mesra pipi gadis itu. Sontak Zelia menoleh ke arah Albarian, dia mendapati cowok itu tersenyum manis dengan lesung pipi ke arahnya. Gadis itu menghela nafas kasar.

"Kenapa lo harus memberikan harapan lagi buat gue?" tanya Zelia.

"Karena gue mencintai lo," jawab Albarian.

"Cinta?" tanya Zelia penuh selidik.

Albarian mengangguk. "Hm."

"Cinta dari Hongkong! Jelas-jelas lo bakalan menikah dengan Karina besok," ucap Zelia.

"Dari mana lo tahu?" tanya Albarian heran.

"Gue udah tahu semuanya."

"Jadi, kemarin malam, lo benaran ke rumah gue?"

Zelia mendengus lemah. "Hm."

"Maaf, gue nggak bermaksud buat nyakitin hati lo," maaf Albarian.

"Nggak bermaksud, ya? Semudah itu, kah kata-kata itu keluar dari mulut lo?"

Albarian mencubit pipi Zelia gemes. "Jangan marah, ntar cantiknya hilang."

Zelia menepis tangan Albarian lalu membuang wajahnya dari hadapan cowok itu. "Bodo amat!"

Albarian menghela nafas kasar. "Gue akan membatalkan pernikahan itu. Percayalah, gue hanya akan menikahi satu orang wanita. Dan itu lo, Ze."

Zelia menoleh ke arah Albarian. "Gue harap itu benar, tapi gue terlanjur kecewa dengan semua kata-kata manis lo!" ketus Zelia.

"Gue serius, gue nggak bercanda." Albarian mencoba untuk serius.

"Hm." dengus Zelia.

"Oh, iya, cincin lo." Albarian merogoh saku celana abu-abunya lalu mengambil sebuah cincin yang sempat jatuh dari jari tangan Zelia. Cowok itu memasangkannya kembali ke jari Zelia. "Udah."

"Gue mau nanya?" ucap Zelia.

"Nanya apa?" tanya Albarian penasaran.

"Ngapain lo nelpon gue malam-malam. Pakai sok misterius segala lagi. Nggak lucu tahu!" Zelia memonyongkan bibirnya ke arah Albarian kesal.

"Gue? Nelpon lo? Semalam gue langsung tidur. Gue nggak nelpon lo."

"Ck." Zelia berdecak kesal. "Sok-sokan nggak tahu."

"Beneran, sumpah, Ze! Gue nggak tahu apa-apa." Tampang Albarian terlihat menyakinkan.

Zelia menatap dalam ke arah Albarian. "Lo serius?"

"Hm." Albarian mengangguk.

"Nggak bercanda, kan?" tanya Zelia semakin mendekatkan wajahnya. Gadis itu mencoba untuk memastikan kalau itu benar.

Albarian menggeleng. "Enggak."

"Ha? Terus siapa?"

"Entah, gue nggak tahu."

"Oh, iya, nanti malam gue bakalan kirim alamat ke lo. Gue mau ngerayain ulang tahun lo di sebuah cafe," lanjut Zelia.

"Hm, gue tunggu. Gue harap lo nggak memberikan harapan palsu lagi. Janji?"

Raut wajah Zelia terlihat sendu. Dia tertunduk.

Cup.

Albarian mengecup mesra kening gadis itu.

"Janji, sayang."

----oOo----

Davandra keluar dari sebuah ruangan rumah sakit. Dia menutup pintu rumah sakit itu lalu berjalam di koridor rumah sakit yang terlihat beberapa suster dan pengunjung berlalu lalang.

Davandra masih mengenakan baju sekolahnya. Cowok itu tidak pergi ke sekolah hari ini karena dia mau melakukan check up. Dia harus melakukan hal itu setiap satu kali seminggu, hanya untuk bertahan hidup.

Dari sebuah kursi tunggu. Davandra melihat seorang wanita paruh baya yang tengah duduk sambil batuk-batuk. Terlihat wajah wanita itu sangat pucat. Wanita yang selalu mengenakan syal kesayangannya. Davandra menghampiri wanita itu karena dia mengenal jelas wanita itu siapa.

"Bunda," sapa Davandra lalu menyalami tangan Felisia dan duduk di sampingnya. Ya, wanita itu adalah bundanya Zelia. Davandra sudah terbiasa memanggil Felisia dengan sebutan Bunda semenjak dia berpacaran dengan Zelia.

"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Felisia heran.

"Biasa, Bunda. Aku habis check up," jawab Davandra santai. Felisia sudah mengetahui kalau Davandra terkena penyakit jantung, alias kanker jantung.

"Bagaimana? Apakah ada perkembangan?" tanya Felisia.

"Ada, bunda. Sekarang sudah mencapai stadium akhir dan dokter sudah memperkirakan kalau hidup, Dav tidak lama lagi...." ucap Davandra lemah.

Felisia tersenyum lalu memeluk erat Davandra. Dia sudah mengenal Davandra beberapa tahun yang lalau. Mungkin sudah lima tahun. Tapi, dia tidak tahu betul bagaimana kehidupan Davandra. Yang dia tahu, Davandra itu terkena kanker jantung.

"Kamu harus kuat. Bunda yakin, kamu bakalan sembuh," ucap Felisia lirih. Entah kenapa wanita itu meneteskan air mata.

Jadi, gini, ya, rasanya dipeluk oleh Bunda sendiri. Kenapa gue tidak pernah mendapatkan pelukan ini sebelumnya dari orang tua kandung gue?

"Dav, sayang, bunda," ucap Davandra parau sambil meneteskan air mata.

"Bunda, juga sayang, Dav," balas Felisia. Wanita itu melepaskan pelukannya. Dia menyeka air mata Davandra sayang, begitu juga Davandra yang menyeka air mata Felisia.

"Bunda, sehat, kan? Udah nggak sakit, kan? Kenapa wajah Bunda sangat pucat? Bunda udah periksa ke dokter? Bunda, jawab, Dav?!"

"...."

"Kenapa Bunda diam?"

"B-bunda-" ucapan Felisia terpotong.

"Dav?"

To be continued....

Tanpa berkata panjang lebar. Aku akhiri dengan membaca terimakasih karena telah membaca ceritaku.

See you next part!

Spam, next!

Albarian dan Zelia [ Open Pre-order ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang