#BeforeDating: Seruan Isi Kepala

439 92 12
                                    

Sepi. Sudah jadi kesehariannya. Mereka sudah lama berteman, bahkan sudah seperti sahabat. Diam, bisu, dan hanya ditemani detikan jam. Waktu berlalu, namun pikirannya akan hari kemarin masih enggan pergi. Seolah topik itu jadi perbincangan hangat di dalam pikirannya.

Lo gila

Lo brengsek

Lo bajingan

Lo...

Hah....

Helaan kembali terdengar. Sunyi perlahan lahan merayap. Menghantui dirinya akan ketakutan ketakutan hari esok. Menciptakan persimpangan dilema yang ia sendiri tak tau haris belok mana. Dia lagi lagi tersesat.

Bepergian memang harus punya tujuan, pun juga dengan jalan pulang. Tapi... ia tidak pernah tau apa itu tujuan. Tidak tau kemana harus pulang. Bahkan langkah yang pertama kali ia ambil ketika melangkah pun sudah tak tau lagi ada dimana. Mungkin ia sudah terlalu jauh melangkah, mungkin juga langkah awal sudah tertimpa oleh langkahnya yang lain. Ia berdiri tepat di persimpangan itu. Banyak langkah, banyak tujuan, banyak jalan pulang, tapi bingung salah satunya yang mana. Yang jalan paling singkat yang mana. Dia, tidak bisa membedakan semuanya.

Laki laki itu meneguk kembali minumannya. Minuman yang kata orang orang bisa membuat pikiranmu tenang. Mungkin ya, mungkin juga tidak. Nyatanya semakin menikmati minuman itu, ia semakin kalut. Itu bagus. Semoga saja ia berakhir tidak sadarkan diri lalu mati. Itu harapan satu satunya.

Mimpi, cita cita, harapan setiap orang pasti berbeda dan menyenangkan. Namun untuknya, harapan itu menyeramkan. Mimpi itu kesengsaraan. Dan cita cita itu paksaan. Karena satu satunya yang ia inginkan adalah

Kembali menjadi tanah.

Menjadi abu.

Hilang.

Lenyap.

Ia selalu memohon pada semesta, untuk memberikan ia harsa. Tapi nelangsa yang selalu ia dapat. Ia selalu memohon pada semesta, untuk menghadirkan sedikit cahaya. Tapi gulita yang selalu ia temukan. Ia selalu minta pada semesta, untuk menghadiahkan ia cinta. Tapi luka yang selalu ia terima. Ia tidak menuntut banyak, ia hanya ingin diberi sedikit bahagia, dititipkan secuil cahaya, dan dihadiahkan sepotong cinta. Namun itu semua tidak ada yang jadi nyata. Ia selalu berakhir pukah dan menyerah. Apa itu yang semesta mau darinya?

Pikirannya kacau, semua carut-marut menjadi satu. Seperti potongan puzzle yang terbelah jadi seribu. Berteriak tolong untuk disusun. Tapi tidak mungkin bisa karena mereka bukan berasal dari puzzle yang sama.

Ia tidak ingin validasi, ia hanya ingin eksistensi yang disadari. Ia tidak perlu seribu pendukung, hanya perlu satu sebagai pelindung. Ia juga tidak ingin kekal, hanya ingin sementara untuk singgah lalu pulang. Hanya ingin itu, apa sulit untuk dipenuhi?

Alarm dari ponselnya berbunyi. Ia buka benda pipih yang tepat berada di sebelahnya. Sebuah tulisan 'jangan lupa minum obat' tertera jelas di sana.

Sudah pukul delapan malam lagi ternyata. Padahal ia merasa baru saja pulang sekolah. Oh ya, itu sudah kemarin.

Perutnya kosong, hanya minuman beralkohol yang ada di sana. Tapi benda canggih itu sudah mengingatkannya untuk minum obat.

Baiklah, saatnya minum obat.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Atelier✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang