"Ya udah, Papa pergi, ya? Baik-baik di sini. Jagain Mama, jagain Kaltha, jangan capek-cepek," pesan sang Ayah sebelum masuk ke pesawatnya. Beliau juga mengacak rambut anaknya sebagai bentuk sayang.
"Jangan nangis dong, jagoan kok nangis. Malu diliatin Kaltha. Enam bulan lagi Papa pulang, sabar ya," sambung sang Ayah kemudian membawa putra tunggalnya untuk masuk dalam pelukan.
"Papa baik-baik di Berlin. Sering-sering kabarin Gathan. Jangan makan yang aneh-aneh, jaga kesehatan Papa. Gathan sayang Papa," ujar laki-laki itu dalam pelukan Ayahnya.
Sang Ayah tersenyum mendengar perkataan anak semata wayangnya. Beliau mengecupi puncak kepala Gathan tanda sayang. Air mata beliau ikut menetes dengan perpisahan sementara ini. Setiap enam bulan sekali, Landani akan pulang ke Indonesia untuk bertemu dengan istri dan anaknya. Kadang ia merasa bahwa ia sangat payah karena tidak bisa terus disamping keluarganya. Tapi di sisi lain ia juga harus bekerja memenuhi keinginan Ayahnya—kakek Gathan—untuk mengurus perusahaan beliau di Berlin.
Tak lama, pelukan itu terurai. Gathan menyeka air matanya begitu pula dengan Landani. Ayah satu anak itu mendekat pada Kaltha yang sejak tadi hanya diam. Gadis itu hampir menangis sebenarnya. Menyaksikan perpisahan sementara Gathan dengan Ayahnya. Itu adalah momen menyesakkan yang selalu Kaltha saksikan setiap Ayah Gathan pulang.
"Nak, tolong jagain Gathan ya, Papa percayakan dia di kamu. Kalau ada apa-apa tolong langsung hubungi Papa," pesan beliau pada Kaltha yang sejak tadi diam tanpa suara.
"Iya Pa, pasti," balas Kaltha ikut tersenyum.
"Ya udah, Papa berangkat dulu ya?" pamit Landani kemudian menyeret kopernya masuk ke dalam pesawat.
Kaltha melihat Gathan yang masih berusaha menyeka air matanya. Berpisah dengan Papa adalah hal yang sangat sulit Gathan lakukan. Setiap tahun, membiarkan Papa kembali ke Berlin adalah hal yang selalu membuat Gathan kesal. Ia ingin laki-laki itu selalu ada di sampingnya juga sang Mama. Tapi ia bisa apa? Kalau tidak bekerja, mereka semua tak akan bisa hidup dengan kebutuhan sekarang. Jadi, menerima adalah jalan satu-satunya dari pada harus banyak meminta.
Gadis Nadindra itu mengusap bahu Gathan kemudian mengajak pemuda itu pulang. Hari ini kebetulan mereka sedang libur dari kegiatan yang menyibukkan. Jadi bisa mengantar Landani pulang.
Keduanya masuk ke mobil dan sibuk memakai seatbelt masing-masing. Setelah mereka aman dan nyaman, mobil pun pergi meninggalkan area bandara. Di dalam mobil tampak sunyi, tak ada musik yang mengiringi, tak ada suara selain napas sendiri. Kaltha sudah biasa, Gathan dengan segala kerumitan kepalanya. Ia tidak mau memaksa Gathan untuk segera seperti biasa, biasanya gadis itu akan memberi waktu sekitar sepuluh sampai dua puluh menit untuk Gathan bergelut sendiri dengan pikirannya. Lalu setelah itu, ia akan ajak bicara kembali dengan segala keajaibannya.
Kali ini, belum genap sepuluh menit, Kaltha bicara pada Gathan. "Beli waffle yuk, lagi pengen," ujarnya pada Gathan yang sibuk menyetir.
Gathan menatap kekasihnya kemudian mengangguk dan tersenyum. Sebenarnya, Kaltha sengaja mengajak bicara Gathan, karena mereka sedang di jalan. Ia ingin menarik Gathan dari pikirannya agar tak terjadi hal yang tak diinginkan. Memang biasanya Kaltha akan membiarkan, namun karena sekarang masih di jalan, lebih baik jangan.
"Mama gimana?" tanya Katha lagi.
"Tadi sempat nangis, tapi untung langsung tenang," jawab Gathan mulai fokus memperhatikan jalan. Tadi ia hampir saja menabrak pengendara lain kalau saja tidak sadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atelier✔
Fiksi Penggemar"Ini bukan hanya tentang cinta dan kita. Ini juga tentang bertahan dari sebuah gangguan mental" ©sshyena, 2020