Di siang yang tak terik, Gathan sedang mengunjungi sang Mama. Ia dan Mama jalan berdua di sepanjang koridor ruangan beberapa orang yang bernasib sama dengannya. Gendis merangkul lengan anaknya, menikmati hari ditemani angin yang berhembus menerpa wajah. Gathan juga sama. Ia seakan menikmati detik yang ada bersama Mama. Mengelilingi tempat yang teduh karena beberapa pohon yang rindang. Juga beberapa bunga bougenville yang ikut serta mewarnai halamannya.
Hingga berhentilah mereka di taman. Di sebuah kursi di bawah pohon rindang yang sesekali ditiup angin. Keduanya menatap sekeliling. Ada seorang wanita tua yang juga sedang berjalan-jalan. Gendis memanggilnya Nek Ita. Lalu tak jauh dari mereka ada juga seorang wanita berusia sama sedang termenung di kursi rodanya.
"Gathan udah sidang, Ma," ujar Gathan tiba-tiba.
"Gimana hasilnya?" tanya Mama ikut menatap Gathan.
"Alhamdulillah," ucap lelaki itu sembari tersenyum.
"Alhamdulillah," sahut Mama melakukan hal yang sama.
Mereka diam lagi. Menikmati hembusan bayu yang kian mendayu. Bahkan rasanya Gendis mengantuk sekarang.
"Oh ya, Mama mau tanya boleh?" tanya wanita itu meminta izin.
"Tanya apa?" heran Gathan karena tak biasanya Mama bertanya dengan izin terlebih dahulu.
"Kenapa dulu milih Ilmu komunikasi? Bukannya kamu suka fotografi?" tanya Mama. Dulu beliau juga pernah bertanya perihal itu. Tapi Gathan enggan menjawab dan mengalihkan pembicaraan.
Lelaki yang ditanya itu menghela napas. Mempersiapkan jawaban yang ada dikepalanya. Berharap semoga Mama tidak marah hanya karena alasan konyolnya.
"Dulu, Gathan sama Kaltha janji bakal masuk kampus dan jurusan yang sama. Kita sama-sama pengen masuk DKV," Gathan memberi jeda. Menatap Gendis yang mendengarkan dengan seksama cerita putranya.
"Tapi begitu lulus, Kaltha langsung dimasukkan ke perusahaan Kakaknya. Dia nggak jadi kuliah. Dan Gathan nggak mau kalau nggak ada Kaltha. Makanya Gathan ikut Biru masuk Ilkom," sambung lelaki itu membuat sang Mama menghela napas. Beliau mengusap kepala anaknya sebagai tanda tidak apa-apa. Lagi pula sudah kejadian, dan Gathan akan segera wisuda. Lagi pula, Gendis tak mau memaksa kehendak anaknya.
"Terus Gathan jadi lanjut S2 nya?" Tanya Mama lagi.
"Menurut Mama, Gathan bisa?" lelaki itu balik bertanya.
"Pasti bisa," balas Gendis memberi rasa percaya.
"Kalau gitu jadi," Gathan tersenyum di akhir kalimatnya. Sukses membuat Gendis ikut mengukir kurvanya. Beliau bahagia jika Gathan bahagia.
Keduanya kembali terdiam. Menatap sekeliling yang satu per satu didatangi pasien lain. Mungkin masing-masing dari mereka tidak ingin melewatkan siang cerah hari ini.
Dering telepon membuat Gathan mengeluarkan ponselnya. Tertera di sana Papa yang ingin video call bersamanya. Momen yang tepat. Papanya tau saja kalau Gathan sedang bersama Mama.
"Papa, Ma," jawab Gathan yang menangkap maksud tatapan tanya Mama.
"Sini, Mama mau ngomong," Gathan menyerahkan ponselnya pada Gendis. Wanita itu pun berdadah ria saat wajah suaminya muncul di layar ponsel. Dan Landani langsung kaget karena tak percaya bahwa anaknya sedang bersama Gendis. Padahal setelah menghubungi Gathan, ia ingin langsung menghubungi istrinya. Namun ternyata langsung paket lengkap.
"Apa kabar, Pa?" tanya Gendis tersenyum senang melihat suaminya yang nampak gagah dengan setelan formal.
"Baik, alhamdulillah. Mama gimana?" balas Landani ikut senang melihat istrinya senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atelier✔
Fiksi Penggemar"Ini bukan hanya tentang cinta dan kita. Ini juga tentang bertahan dari sebuah gangguan mental" ©sshyena, 2020