#OurLittleFamily: Sang Pangeran Kecil

333 37 10
                                    

Bunyi panel sandi yang ditekan membuat anak lima tahun itu berlari mengejar pintu. Si Ayah yang sedang memasak di dapur terkekeh kecil melihat anaknya bersemangat menyambut seseorang yang baru saja pulang.

"Ibu!" serunya saat melihat wajah wanita kesayangannya.

"Atan!!" sambut si Ibu kemudian menggendong jagoan kecilnya.

Rathan Dikara. Pangeran kecilnya Gathan Birawa dan Kaltha Nadindra. Umurnya sudah lima tahun. Sangat senang makan cokelat meskipun sudah dilarang berulang kali. Pria kecil tampan yang sangat mirip dengan ayahnya. Tapi kalau ditanya anak siapa, jawbannya pasti anak Ibu.

"Atan, Ibu mandi dulu, ya? Atan main lagi sama Ocis. Okey?" Gathan mengambil alih anaknya agar sang istri bisa langsung membersihkan diri dan makan malam.

"Iyaa," jawabnya menurut. Pria kecil itu kembali sibuk bermain dengan bonekanya yang bernama Ocis. Ditemani beberapa mainan lainnya seperti balok dan lego.

"Maaf, harus ngebiarin kamu masak lagi. Tadi banyak banget yang harus aku selesain," ujar Kaltha merasa bersalah karena lagi-lagi harus Gathan yang menyiapkan makan malam.

"Gapapa, kamu mandi gih. Makan malamnya udah siap. Kita makn sama-sama," Kaltha mengangguk kemudian masuk kamar untuk membersihkan diri. Sementara Gathan kembali ke dapur untuk menghidangkan makan malam.

Tak jarang peran Kaltha di rumah ini di ambil alih oleh Gathan. Seperti memasak dan mencuci piring. Wanita itu kian hari kian sibuk. Berangkat setelah matahari terbit, pulang setelah matahari terbenam. Gathan tak marah. Karena sejauh ini, ia senang-senang saja melakukan semuanya. Lagi pula di antara mereka, memang Gathan yang banyak senggangnya. Pria itu berhasil membuka chocolatography seperti janjinya enam tahun yang lalu. Kini kafenya itu ramai dikunjungi muda-mudi karena tempatnya yang aesthetic dan memiliki konsep yang unik. Sejauh ini karyawannya ada tiga. Dan ia hanya datang sebentar untuk memastikan para pekerjanya siap memulai pekerjaan. Kalau sedang ramainya, Gathan juga tinggal untuk membantu mencatat pesanan. Dilain kegiatan, ia juga ikut podcast Biru. Sahabatnya itu sudah menandatangani kontrak eksklusif dengan platform yang menaungi acara podcastnya. Sangat luar biasa karena gajinya bukan lagi hitungan rupiah. Tapi us dollar. Haha.

Sementara Rathan, ia sudah mulai bersekolah dan dititipkan di rumah Bunda. Bermain bersama kakak Nohan yang makin hari makin tumbuh tinggi. Ayah dan Bunda tidak keberatan. Karena mereka senang bermain dengan cucu-cucu mereka. Oh ya, sesekali anak-anak Miko juga ikut meramaikan suasana rumah Bunda Oza. Ada Leo dan Theo. Si kembar yang tidak pernah mau pulang kalau sudah bermain dengan Rathan.

Singkat cerita, keluarga kecil ini telah menyelesaikan makan malam mereka. Kini Rathan, Ayah dan Ibu sedang duduk berjejer sembari membuka album foto lama. Karena tadi Rathan bercerita kalau ia punya banyak teman di sekolah, Gathan jadi ingin mengenalkan pengalaman sekolah Ayah dan Ibunya.

"Ibu!" serunya menunjuk gadis belia yang sedang berpose dengan dua jari membentuk peace.

"Ibu sama siapa itu?" tanya Gathan karena di sana Kaltha tidak sendiri.

"Sama Ayah," jawabnya menatap sang ayah senang. Gathan tersenyum bangga sembari mengacak lembut rambut anaknya.

"Ini Ayah sama Papi," ujar si kecil lagi menunjuk foto Gathan bersama Biru.

"Ini siapa ini?" Kini giliran Kaltha yang bertanya tentang sebuah foto yang entah kenapa bisa ada di sana padahal pemiliknya tidak di sini.

"Piyo," jawabnya benar.

"Pinter..." puji Kaltha sembari mengecup pipi kiri Rathan.

"Kalau yang rame-rame ini?" tanya Gathan kini menunjuk foto mereka bersama dalam pernikahan Gathan dan Kaltha.

"Ini Ibu sama Ayah. Ini Piyo, Miyo, Mami sama Daddy, terus ini.... Mami sama Papi, ini Mimel, Pipi, Uncle By sama Onty Na!" Rathan menunjuk satu per satu orang yang ada di sana kemudian tepuk tangan karena semua tebakannya benar. Rathan kenal dekat dengan circle Ayah Ibu nya. Tak jarang para bocil itu bermain bersama disaat para orang tuanya sibuk bercerita.

"Atan mana?" tanya Gathan iseng.

"Atan nggak ada. Atan diperut Ibu," jawaban itu sukses membuat orang tuanya terkekeh geli.

Rathan itu anak yang cepat tanggap. Di sekolahnya saja ia selalu dapat bintang lima untuk semua pekerjaan yang dikerjakannya. Beberapa orang tua Terkadang iri dengan Gathan dan Kaltha karena mempunyai anak yang pintar dan penurut. Tapi sebenarnya, Rathan sama saja seperti anak kebanyakan. Ia juga suka rewel, banyak tidak maunya, dan sulit dinasehati. Contohnya cokelat. Entah dengan cara apa lagi Kaltha menjauhkan makanan itu dari anaknya.

"Ayah, ini siapa? Atan nggak pernah liat," tanya bocah lima tahun itu sembari menunjuk laki-laki dengan seragam SMA dan memakai kacamata. Itu adalah foto mereka bertujuh di mana masih ada Aqsala. Lama Gathan pandang foto itu dengan segenap rindu yang hadir di hatinya.

Kaltha terdiam, tidak tau harus menjawab apa, juga bingung menjelaskannya bagaimana.

"Itu Om Aqsal," jawab Gathan sembari menatap putranya teduh.

"Kaya Piyo?" tanya bocah itu lagi.

"Iyaa," jawabnya sembari mengangguk.

"Om ini rumahnya di mana Ayah? Atan mau ketemu," Kaltha lagi-lagi tak mampu menjawab. Hatinya sakit, ingatan-ingatan tentang kejadian beberapa tahun lalu terulang lagi. Bahkan ia sudah hampir menangis.

Namun Gathan memberi senyuman untuk Rathan. Ia terlihat sangat tegar dari apa yang Kaltha bayangkan.

"Om Aqsal rumahnya jauh, Nak. Makanya Atan nggak pernah ketemu," jawab Gathan penuh pengertian.

"Jauh? Sejauh rumah Opa?"

"Lebih jauh dari itu," balas Gathan mengusap surai Rathan lembut.

"Jadi Atan nggak bisa ketemu Om ini?"

Gathan menggeleng sebagai jawaban. Sementara Rathan hanya merungut lesu karena mendapat jawaban yang tidak ia inginkan. Kaltha menyeka air matanya yang tiba-tiba jatuh, kemudian ia langsung mengalihkan perhatian anaknya.

"Atan, udah jam sembilan. Atan bobo, ya? Besok 'kan harus kita harus ke ulang tahunnya Ruby," ajak Ibu menutup album foto yang ada di pangkuan anaknya.

"Iya Ibu," jawab anak itu kemudian digendong oleh ibunya. Gathan menatap Kaltha yang membawa pangeran kecil mereka masuk ke kamar. Ia tersenyum sumir sembari menatap album foto itu.

Aqsala. Raganya sudah tak di sini, tapi namanya selalu terselip di sela-sela bait doa. Jika ia masih ada, mungkin ia akan senang bermain dengan Rathan. Atau mungkin pula, anak-anak mereka akan jadi sahabat baik seperti mereka pula.

Rindu, memang datangnya tidak pernah disangka. Terlebih pada sesuatu yang telah pergi meninggalkan dunia.

 Terlebih pada sesuatu yang telah pergi meninggalkan dunia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tersisa satu chapter lagi....

Atelier✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang