Sudah lima hari sejak kepergian Aqsal Gathan tak mau keluar kamar. Ia hanya berdiam diri di kamar sambil merutuki diri atas apa yang terjadi. Ia makan bila waktu makan, dan minum obat jika waktunya minum obat. Namun tetap hari-harinya sama. Dipenuhi rasa berdosa karena telah menyebabkan Aqsala celaka. Meski teman-temannya terus berkata bahwa itu bukan salahnya, tetap saja rasanya ialah penyebab Aqsala tiada.
Biru mengutak-atik laptopnya. Bahkan laki-laki ini bolos karena harus mengawasi sahabatnya. Siapa yang tau apa yang ada dalam kepala Gathan. Ia hanya berjaga-jaga saja karena emosi Gathan benar-benar tidak stabil. Sementara Kaltha tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Gadis itu selalu mampir di saat senja karena ia baru pulang bekerja. Lalu pulang pukul sembilan malam karena itu perjanjiannya dengan Navi.
Dering telepon membuat atensi Biru teralih. Lelaki tampan itu melirik ponselnya yang sedang mengisi daya. Tertera kontak Ayah Gathan sebagai penelepon. Membuat Biru langsung buru-buru mengangkat panggilan itu.
"Halo, assalamualaikum, iya Om?" sapa Biru lebih dulu.
"Walaikumsalam, Gathan gimana? Masih nggak mau keluar kamar?" tanya Landani yang juga sudah mengetahui apa yang terjadi belakangan ini.
"Masih nggak mau. Tadi udah Biru anterin makan, nggak tau deh udah dimakan apa belum," balas pemuda itu menggaruk belakang lehernya yang tak gatal.
"Kamu masih di sana, 'kan?"
"Iya, Om. Masih kok, Kaltha juga sering bolak balik mampir buat hibur Gathan."
"Baguslah. Kamu tolong temani dia dulu ya? Om masih belum bisa pulang ke Indonesia. Secepatnya Om bakal kosongin jadwal. Makasih ya, Biru."
"Iya, Om, sama-sama," panggilan itu selesai. Biru menghela napasnya sejenak kemudian ikut merasa iba. Ia tidak tega Gathan terus-terusan menyalahkan dirinya. Lelaki itu bahkan tak ada semangat hidupnya. Seakan dirinya ikut pergi bersama Aqsala. Bahkan yang lebih sulit Biru hadapi adalah ketika Gathan mulai marah dengan semuanya. Emosi pemuda itu meledak-ledak bahkan sempat menghancurkan barang-barang yang ada di kamarnya. Tak cuma itu, beberapa kali pula Gathan menyakiti diri dengan menyayat tangannya sendiri. Biru bahkan tidak tahu harus bagaimana lagi.
Duk! Duk! Duk!
Bunyi itu menggema sampai ke telimga Biru. Tanpa menebak itu apa, lelaki berhidung mancung itu langsung berlari menuju kamar sahabatnya yang tak pernah dikunci karena kuncinya ia sita. Lalu saat pintu terbuka, terlihat Gathan sedang membenturkan kepalanya ke tembok dengan sangat keras. Bahkan rasanya dinding di kamar ini ikut bergetar. Biru langsung berlari kemudian menarik Gathan agar menjauh dari tembok. Entah penyesalan di bagian mana lagi yang membuat Gathan setersiksa ini."Udah, Than! Jangan kayak gini!" seru Biru yang masih berusaha menahan Gathan yang terus ingin mencapai tembok.
"Minggir! Gue mau buat semuanya impas!" balas Gathan bersikeras.
"Nggak ada yang harus lo bikin impas, Than! Ini bukan skor pertandingan!!" masih dengan seluruh kekuatan yang ia punya, Biru terus menarik Gathan yang keras kepala.
"Dia menderita karena gue! Gue nggak bisa terima dia pergi gitu aja!!"
"AQSAL UDAH PERGI, THAN. LO BUKAN HARUS BUAT INI IMPAS TAPI LO HARUS IKHLAS!!" teriak Biru hingga Gathan pun menangis keras. Tenaganya melemah kemudian terduduk di lantai dengan seluruh rasa bersalahnya.
"Gue yang buat dia celaka! Gue yang harusnya mati, kenapa malah dia!!!" tangis pemuda itu makin menjadi. Rasa sakitnya tak kunjung terobati karena ia pun tak tau penawar dari rasa sakit ini. Ia hanya mau Aqsala hidup kembali. Atau paling tidak, biar ia yang menggantikannya mati.
Biru
Tha, lo udah deket, 'kan? Gue mau ke kampus bentar nganter laporan. Lo tolong jagain Gathan, ya?Pesan Biru sepuluh menit yang lalu membuat Kaltha berdecak kesal. Ia memang sudah dekat, tapi jalanan tidak memberinya kesempatan untuk datang lebih cepat. Gadis itu lantas berlari menuju unit Gathan begitu keluar dari elevator. Ia menekan beberapa angka kemudian masuk begitu saja setelah kode yang ia masukkan benar. Tanpa mengucapkan salam atau sapa, Kaltha langsung berlari untuk mengecek keadaan Gathan. Namun naas, lelaki itu tak ada di kamarnya.
Kaltha seketika panik. Ia mulai mencari ke segala sudut ruangan untuk mencari keberadaan kekasihnya. Di kamar mandi, di dapur, dikamar yang lain, nihil. Gathan tak ada di unitnya. Lantas ke mana ia bisa bergi dalam waktu sepuluh menit?
Gadis Nadindra itu keluar dari sana. Menuju tempat yang tadi terlintas di kepalanya. Entah kenapa tapi naluri mengajaknya ke sana. Semoga tebakan hatinya benar hingga ia bisa menghentikan hal yang tidak ia inginkan. Kaltha menekan tombol lift berkali-kali, namun tak kunjung terbuka. Ia sungguh terdesak hingga akhirnya memutuskan untuk naik tangga. Ia tau ini akan melelahkan, tapi harapannya cuma satu, semoga ia belum terlambat.
Anak tangga demi anak tangga ia daki. Akhirnya pun sampai di sini. Di rooftop apartemen yang luas dengan pemandangan langit senja. Namun bukan itu maksud kedatangannya. Dari kejauhan ia sudah dapat melihat seorang laki-laki berbahu lebar sedang menikmati semilir angin di ujung gedung. Kaltha tidak bisa menebak isi kepala si pemuda tapi ia rasa memang ada yang tidak beres dengan dia. Lantas ia pun berlari sekuat tenaga mencegah sesuatu yang menyeramkan. Tepat ia tiba di belakang Gathan, Kaltha langsung menarik baju kekasihnya hingga mereka pun sama-sama terjatuh.
"Gathan?!" Kaltha langsung menghampiri lelaki yang masih saja dengan wajah sembab dan rasa bersalahnya. Dengan penuh cinta, ia peluk tubuh lemah si pemuda untuk mengatakan semuanya baik-baik saja. Keduanya menangis bersama. Takut dengan segala hal buruk yang ada di kepala. Yang memang pada dasarnya, yang ada di kepala justru lebih menyeramkan dari apa yang sebenarnya kejadian.
"Gathan, jangan kesana..." lirik si jelita masih memeluk kekasihnya.
"Jangan ikut Aqsal, ya? Nanti Kaltha sama siapa?" suaranya parau akibat tangis kencangnya. Sakit melihat Gathan yang memilih mati saja dari pada terus hidup bersamanya.
"Jangan kayak gini, Kaltha takut..."
"Kamu takut?" tanya Gathan dengan suaranya yang juga parau. Bahkan nyaris tak terdengar.
Dengan isakan gadis itu mengangguk sembari terus memeluk kekasihnya.
"Jangan takut. Jangan nangis," pemuda itu kini mengusap air mata Kaltha. Kemudian dengan lirih ia menyambung kalimatnya. "Aku nggak jadi pergi."
Kaltha menangis sejadinya. Memeluk Gathan yang terlihat tak berdaya karena sebagian dari dirinya hilang entah ke mana. Kaltha baru saja kehilangan Aqsala, jangan sampai ia kehilangan Gathan juga. Semestanya akan sehancur apa jika Gathan juga ikut pergi meninggalkannya?
Hanya tersisa 3 chapter bonus lagi. Setelah itu, atelier akan benar-benar selesai🙂
KAMU SEDANG MEMBACA
Atelier✔
Fanfiction"Ini bukan hanya tentang cinta dan kita. Ini juga tentang bertahan dari sebuah gangguan mental" ©sshyena, 2020