Mobil Saga berhenti di sebuah rumah dengan cat berwarna putih yang kusam. Di dinding-dindingnya juga terdapat beberapa tanaman menjalar. Halamannya penuh rumput liar. Salah satu kaca jendelanya pecah entah bagaimana bisa terjadi.
Beberapa menit lalu, Saga menjemput Kaltha di apartemennya. Katanya ingin mengajak Kaltha jalan-jalan. Tapi, tujuan jalan-jalan itu di sini. Di rumah yang tak terlalu jauh dari rumah Bunda, hanya berjarak beberapa rumah saja. Rumah itu dulu milik Sagara dan keluarganya tinggal. Tapi setelah satu tahun Saga belajar di luar negeri, keluarganya pindah ke daerah lain. Entah kenapa, Kaltha juga tak tau alasannya. Rumah itu akhirnya dijual. Tapi sampai sekarang, tak terlihat juga penghuni barunya.
"Serem ya sekarang rumahnya," celetuk Saga menyaksikan tempatnya tumbuh sekarang sudah seperti rumah berhantu.
"Iya, karena udah nggak ada penghuninya," sahut Kaltha meng-iya-kan.
"Ingat nggak Tha, dulu kita sering main kejar-kejaran di sana," Saga menunjuk halaman rumahnya yang memang sedikit luas.
Kaltha mengangguk setuju. Sekelebat ingatannya tentang masa lalu, terputar di kepala.
"Terus kita tiduran sambil baca dongeng di bawah pohon jambu itu," Saga kembali menunjuk sebuah pohon yang sudah mengering daunnya. Pun rantingnya sudah hampir kehilangan sebagian daun.
Kaltha terkekeh mendengar perkataan Saga. Memang, kenangan kecil mereka penuh warna jika dikenang. Sulit bahkan untuk dilupakan.
"Terus kita juga punya mimpi buat istana sendiri," sambung Saga menatap Kaltha. Gadis itu tersenyum. Mimpi yang menurut orang dewasa mustahil, tapi terasa nyata saat mereka masih kecil. Tinggal di dalam kastil, menjadi raja dan tuan putri, menaiki kuda putih, memakai pakaian kerajaan, dan mengikuti acara minum teh. Kehidupan fiksi yang selalu didongengkan sebelum tidur. Sampai akhirnya, mimpi itu tak satu pun jadi nyata.
"Udah ah, Kaltha jadi kangen," balas gadis itu sedikit menyeka air matanya.
Saga terkekeh melihat tingkah menggemaskan Kaltha. Lelaki itu juga mengacak rambut Kaltha persis saat seperti mereka belum tumbuh dewasa.
"Mau pulang?" tawar Saga setelah gadis itu menyeka habis air matanya.
"Gitu doang? Katanya mau jalan-jalan," heran Kaltha. Sejak tadi mereka belum ada ke mana-mana. Rumah lama Saga adalah tempat pertama yang mereka datangi.
"Udah, cuma mau ke sini bareng kamu. Emang kamu mau ke mana lagi?" tanya lelaki itu tertawa kecil melihat Kaltha yang tiba-tiba bertanya.
"Nggak mau ketemu Bunda?" tawar Kaltha. Karena mereka berada di sekitar rumah Bunda, jadi sekalian saja Kaltha menawarkan untuk mampir ke sana. Bunda dan Saga juga cukup dekat.
"Kemarin udah ketemu, jadi kayanya nggak usah," balas lelaki itu.
"Oohh...," gadis itu mengangguk tanda mengerti.
"Kak Saga nggak mau jalan-jalan nih? Mumpung masih di Jakarta," tawar Kaltha lagi. Ia hanya tak mau Saga menyesal karena tak menempatkan waktu untuk berkeliling di kota kelahirannya.
"Nggak usah deh, nanti pacar kamu marah karena pacarnya Kakak culik," perkataan itu membuat Kaltha tertawa. Ya kali Gathan se-childish itu hingga cemburut hanya karena Kaltha jalan dengan sahabat kecilnya.
"Nggak Kak, nggak mungkinlah Gathan kaya gitu."
"Ya udah, kita makan pasta aja gimana?"
Kaltha tertawa, entah apa yang lucu tapi itu membuat dahi Saga berkerut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Atelier✔
Fanfiction"Ini bukan hanya tentang cinta dan kita. Ini juga tentang bertahan dari sebuah gangguan mental" ©sshyena, 2020