"Belum selesai, Tha?" tanya Vanya yang sudah bersiap-siap untuk pulang.
"Hm? Iya nih, gue masih ngerjain desain 3D-nya," jawabnya disela-sela jarinya yang menari di atas keyboard dan mouse.
"Jadinya lo lembur?" tanya wanita itu lagi.
"Iya deh kayaknya," jawab Kaltha menatap Vanya dengam pandangannya yang menyedihkan.
"Mau gue temenin?"
"Nggak usah, lo pulang duluan aja. Pasti udah dijemput suami lo, 'kan?" balasnya tak enak hati.
"Gampang, tinggal gue suruh pulang lagi aja dia."
"Nggak usah Vanya, udah lo pulang aja. Gapapa, masih ada Mbak Tiwi sama Ella kok."
"Bener nih?"
"Iyaa Vanya sayang."
"Ya udah, kalau ada apa-apa hubungi gue ya?"
"Pasti."
"Byee~"
"Hati-hati," balas Kaltha kemudian Vanya pergi dari sana. Sementara Kaltha kembali melanjutkan pekerjaannya yang masih lumayan banyak.
"Bikin minum dulu deh," gadis itu bangkit dari duduknya untuk menuju dapur. Ia membuka coklat seduh siap minum untuk memulihkan kinerja otaknya. Setelah secangkir cokat panas itu siap, Kaltha kembali ke mejanya untuk melanjutkan pekerjaan.
Selain karena ia mengejar target Leony, alasan lainnya adalah ia ingin melampiaskan sakit hatinya pada kerja. Ya, setidaknya dengan fokus pada layar komputer membuatnya lupa akan patah hati yang baru ia terima.
Lampu ruangan sudah mati. Hanya cahaya komputer saja yang menerangi beberapa meja yang masih diduduki pemiliknya. Ada Kaltha, Tiwi, Ella dan Faton. Mereka semua fokus mengerjakan apa yang menjadi tugas mereka. Tak ada yang bersuara dan hanya ditemani oleh bunyi ketikan keyboard.
Kaltha menghela napas, kemudian kembali melanjutkam pekerjaannya.
Gathan masuk ke dalam lift. Ia baru saja pulang dari tempat Mamanya. Suasana hatinya kacau, khawatir pada Mama, memikirkan Kaltha, bingung bagaimana menghentikan Audrey, semua jadi beban kepala yang terasa berat.
Liftnya berhenti di lantai sembilan. Bukannya langsung keluar, Gathan malah berdiam diri di dalamnya karena masih memikirkan apa yang harus ia katakan pada Kaltha. Bagaimana caranya ia berkata untuk Kaltha menemui Mama yang kondisinya sedang tidak baik. Apa ia mau membukakan pintu untuk Gathan? Apa ia mau menuruti keinginan itu? Sampai akhirnya pintu tertutup kembali, ia menekan tombol bertuliskan angka sepuluh.
Lift kembali bergerak naik membawa Gathan menuju lantai yang ia tuju. Tak butuh waktu lama, pintu lift terbuka pertanda ia telah tiba. Lelaki itu pun keluar dari sana dengan langkah yang masih ragu-ragu. Berjalan sangat lambat karena belum menemukan kata-kata yang pas untuk Kaltha.
Hingga sampailah kakinya di depan unit dengan nomor 217. Ya, itu unit Kaltha. Ia angkat tangannya perlahan berniat mengetuk.
Tok! Tok! Tok!
Pintu ia ketuk dengan perlahan. Menunggu seseorang membuka pintu atau paling tidak membalas. Namun sayang, tidak ada satu pun balasan dan pintu pun tak terbuka. Ia coba sekali lagi.Tok! Tok! Tok!
Ia diam sejada untuk mendengar balasan dari dalam. Namun nihil, tidak ada satu suara pun yang terdengar.Gathan melihat jam yang ada di ponselnya. 19.45. Harusnya Kaltha sudah pulang. Tapi kenapa satu suara pun tak terdengar dari dalam sana? Apa ia masih di kantornya? Apa lebih baik ia menunggu saja? Di dalam? Tidak, ia sudah tidak punya hak lagi untuk masuk tanpa izin meskipun sandi unitnya masih sama. Ia cukup tau sopan santun untuk tidak melakukan hal itu.
Gathan duduk di depan pintu, menyandarkan kepalanya dengan harapan-harapan yang ada. Ia berniat menunggu Kaltha sampai pulang. Karena tekadnya untuk mempertemukan Kaltha dengan Mama sudah bulat. Meski ia harus menunggu semalaman dan terlihat seperti orang gila, ia hanya mau Mamanya baik-baik saja.
Pukul 20.30, Kaltha belum juga menampakkan batang hidungnya. Itu membuat Gathan hampir putus asa dan memilih pulang. Tapi untung tidak, ia masih memiliki tekad untuk menemui Kaltha saat itu juga. Menunggu sampai pagi pun ia tidak apa-apa. Semua demi Mama, ya, untuk Mama.
21.49. Sudah hampir jam sepuluh namun kenapa Kaltha tak kunjung datang? Apa yang terjadi sebenarnya? Apa Kaltha tidak pulang ke apartemennya? Apa mungkin Kaltha pulang ke rumah Bunda? Atau mungkin juga ke rumah Kakaknya? Apa itu artinya Gathan tak punya harapan untuk bertemu Kaltha malam ini? Apa ia pulang saja dan menunda niatnya sampai esok pagi? Ah, padahal ia sudah menyiapkan ribuan kata-kata juga alasan lainnya jika Kaltha menolak ajakannya.
Baiklah Gathan, sudah 21.52. Mungkin Kaltha tak ada. Mungkin Kaltha tak ingin bertemu dengannya. Mungkin Kaltha sebegitu membencinya sampai tak ingin pulang ke apartemen yang ia punya. Mungkin memang seharusnya Kaltha tak perlu lagi bertemu dengannya.
Gathan berjalan menuju lift. Menekan tombol hingga pintunya terbuka kemudian masuk ke dalam ruang kecil yang tak ada isinya. Saat hendak menekan angka sembilan, ia ragu. Tidak, mungkin belum saatnya pulang. Ia pun menekan angka satu di mana lobi berada. Lift mulai bergerak, membawanya turun sesuai lantai yang ia tekan. Setelah sampai, bunyi ting pun menggema. Lelaki itu keluar menuju pintu yang mengarah pada kolam renang.
Menurut perkiraan, pintunya belum ditutup oleh petugas. Tapi siapa tau, ia terlambat dan tidak jadi menenangkan diri di antara riak air kolam.
Gathan membuka pintunya, dan benar saja, pintu itu belum dikunci. Setelah ia masuk, tak lupa ia menutupnya kembali. Di dalam sini sepi, tak ada satu orang pun selain dirinya.
Ia berjalan mendekati kolam, mendudukkan diri di tepinya dengan kaki yang masuk dan menayun pelan. Malam ini tak ada bulan, pun tak ada bintamg. Benar-benar malam yang sepi. Hanya ada lampu ruangan dari unit-unit yang masih menyala dengan bayangannya di kolam. Gathan menghirup napas dalam, kemudian menghembusnya perlahan. Menikmati angin malam yang sedikit menusuk kulit karena ia hanya memakai kaus lengan pendek.
Gathan membuka ponselnya berniat menelepon Kaltha, siapa tau diangkat. Bunyi tut terdengar beberapa kali sampai akhirnya suara operator terdengar. Ponselnya aktif, namun Kaltha tidak mengangkat. Apa gadis itu sengaja? Apa Gathan benar-benar tak ada lagi dalam hidup Kaltha? Apa sekarang Gathan sudah bukan siapa-siapa melainkan hanya masa lalu bagi Kaltha?
Suara helaan napas terdengar. Gathan meletakkan ponselnya di lantai karena ia ingin kembali menikmati malam sunyi yang ia punya. Membiarkan dirinya dipeluk angin yang kian membuat tubuhnya meremang. Malam ini bahkan rasanya lebih sepi dari malam sebelumnya. Ia seakan ditinggal sendirian dalam ruang gelap yang menyeramkan. Ia seperti dibiarkan tenggelam dalam samudra yang dalam. Malam seakan menjebak, mengurung bahkan menyiksanya dengan kesunyian. Membuatnya jadi berpikir bahwa dunia bukan tempat yang tepat untuk tinggal. Bukan, dunia memang bukan tempat yang tepat.
Lelaki itu bangkit dari duduknya. Menatap ke sekiling yang terasa sedikit menyeramkan karena satu persatu lampu mulai padam. Gathan berbalik jadi membelakangi kolam. Menengadah menatap langit untuk memastikan sekali lagi, apa malam ini tak ada saksi dari langit?
Lalu perlahan,Byurr...
Dari balik jernihnya air kolam, ia dapat melihat bahwa malam ini langit sedang tidak hadir untuk menyaksikan lesapnya seseorang.
•
•

KAMU SEDANG MEMBACA
Atelier✔
Fanfic"Ini bukan hanya tentang cinta dan kita. Ini juga tentang bertahan dari sebuah gangguan mental" ©sshyena, 2020