#BeforeDating: Perang Dingin

165 33 9
                                    

Untuk kesekian kalinya, Aqsal kembali membawa Kaltha ke rumah pohonnya. Tapi ini bukan malam, melainkan saat senja. Dan yang lebih menakjubkannya, jendela rumah pohon Aqsal menghadap barat. Di mana Kaltha langsung bisa melihat binar indah senja dari atas sana. Aahh, bahkan takkan ada yang berani mencela senja karena sangking indahnya

"Sedang berkaca, ya?" celetuk Aqsal saat Kaltha masih kagum dengan pemandangan di hadapannya.

"Maksudnya?" tanya gadis itu mengerut kening.

"Iyaa, kamu dan senja kan sama indahnya. Jadi, seperti melihat kamu sedang berkaca," balas Aqsal menjelaskan maksudnya.

"Dan kacanya sebesar langit?" Kaltha bercanda membalasnya.

"Keindahanmu memang sebesar itu."

"Stop, Aqsal. Nanti aku jadi makin tinggi hati."

"Bagus, kamu memang harus sombong karena memiliki keimdahan tiada tara."

"Aqsal stop!"

Pemuda itu tertawa, ia meraih selembar kertas yang selalu tersedia dipojok meja. Sementara si jelita kembali memperhatikan dirinya yang lain, Aqsal mengabadikannya dalam bentuk tulisan.

"Buat puisi lagi?" tanya Kaltha menoleh pada Aqsal yang sedang fokus di belakangnya.

Lelaki itu menoleh, tersenyum, lalu mengangguk. Ah, manis sekali senyum itu.

"Mau liat," pinta Kaltha mendekat ke arah Aqsala.

"Sebentar," balas laki-laki itu karena puisinya belum selesai.

Kaltha mengangguk saja sembari memperhatikan Aqsal. Dari sisi ini, Kaltha dapat melihat betapa mancungnya hidung Aqsala, matanya sedikit sipit, bulu matanya tidak terlalu panjang, pipinya sedikit tirus, dan bibirnya tipis berwarna merah muda. Sempurna. Parasnya, maupun sikapnya.

"Cita-cita kamu apa sih?" celetuk Kaltha tiba-tiba.

Aqsal teralih dari kertasnya. Ia menatap gadis di sebelahnya lalu menjawab, "Kamu."

"Maksudnya?" heran Kaltha tak mengerti.

"Cita-citaku itu kamu," sambung Aqsal.

"Serius!"

"Bahkan aku nggak pernah bercanda jika itu perihal kamu."

Tatapan mautnya. Duhhh, kenapa kelihatan cakep banget sih kalau dari dekat?

"Maksudku cita-cita kamu. Kamu mau jadi apa kalau udah tamat sekolah?" alih Kaltha karena jantungnya juga tak akan kuat jika disuruh berlama-lama menatap manik kenari Aqsal.

"Ooh, itu, mmm... Pilot," jawabnya seteah berpikir sebentar.

"Hahahaha!" bukan pujian atau tepuk tangan, Kaltha malah tertawa. Yang ini, jangan ditiru sikapnya. Nyebelin.

"Kenapa ketawa?" tentu saja dia heran.

"Gapapa, cuma kamu nggak cocok aja jadi pilot," sambungnya setelah mengusaikan tawa.

"Terus cocoknya jadi apa?" Aqsal menumpu dagu, memberi semua atensinya pada gadis jelita di sebelahnya.

"Penyair," jawabnya tanpa perlu berpikir lama.

"Tha, aku bukan penyair, aku cuma suka buat puisi," sanggah Aqsal karena ia merasa tak pantas untuk disebut penyair hanya karena puisi-puisi anehnya.

"Sama aja kan itu penyair?"

"Beda tau!"

"Sama!"

"Beda."

"Sama, ih!"

Atelier✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang