Enam hari berlalu. Keadaan sudah membaik seperti semula. Aqsala sudah kembali baik-baik saja, bahkan Gathan sudah mulai melakukan rutinitasnya meski belum sepenuhnya. Laki-laki yang doyan menulis puisi itu berjalan santai di koridor menuju kelas. Sesekali ia menyapa beberapa kenalan yang ada di koridor. Namun belum sampai ia di kelas, langkah Aqsala mendadak berhenti. Sesaat kepalanya terasa nyeri seperti di tusuk jarum berpuluh-puluh senti. Telinganya sedikit berdenging dan mendadak kakinya jadi hilang kendali. Pemuda itu mencekram kepalanya yang berdenyut tanpa henti. Lalu tanpa diwanti-wanti, ia jatuh tak sadarkan diri.
.
.
.
Aqsala duduk termenung di kamar rawat inapnya. Selepas pingsan tadi, ia langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Dan begitu diperiksa ternyata memang ada yang tidak beres dengan otaknya. Ada gumpalan darah beku di dalam sana yang membuat denyutan hebat pada kepala. Dan karena tidak kuat menahan sakitnya, Aqsala tumbang begitu saja.
Bahkan ia tidak menyangka kejadian itu efeknya memakan waktu yang lama. Ia pikir sudah selasai begitu saja. Namun ternyata, rasa sakit baru sampai padanya setelah seminggu masa pemulihannya.
Pintu kamarnya diketuk, kemudian masuklah dua sepasang rupawan dengan masing-masing membawa buah tangan. Gathan dan Kaltha. Mereka berdua adalah orang pertama yang diberitahu dia. Pun mereka pula penjenguk pertama setelah diagnosanya.
"Jadi gimana?" tanya Gathan duduk di salah satu kursi yang ada.
Aqsal tersenyum sumir, terdengar sedikit menyedihkan tapi tidak akan ia perlihatkan. "Ada pembekuan darah di otak. Itu sebabnya kenapa kepalaku sering sakit belakangan ini," jawabnya berusaha terlihat baik-baik saja.
Namun mereka tau adanya, bahwa tidak ada yang baik-baik saja disaat menerima berita duka.
"Terus?" sambung Gathan dengan perasaan ibanya.
"Dokter bilang harus rawat inap sambil kontrol tiap berapa hari sekali."
Gathan menunduk, menahan tangis yang sejak tadi sudah mendesak keluar.
"Ini salah gue. Harusnya gue nggak usah ajak lo ke sana," benar saja, pemuda itu langsung menjatuhkan air matanya saat bibirnya mulai mengeluarkan suara.
"Udah, Than. Semua udah kejadian, nggak ada yang perlu disalahkan. Kita cuma bisa terima kenyataan," Aqsal mengusap bahu sahabatnya demi memberi kekuatan. Meski sebaliknya, ia lah yang justru banyak dukungan di waktu-waktu sekarang.
"Lo harus sembuh! Gue baru bisa sembuh kalau lo sembuh," ujarnya dengan isak tangisnya yang sulit dihentikan.
"Serahkan semuanya sama Tuhan, Than. Cuma Dia yang punya kuasa."
Isak tangis terdengar di mobil yang baru beberapa hari ini dibeli pemiliknya. Di sebelah kursi kemudi, seorang pemuda tertunduk menangis dengan tangan kiri yang setia digendongnya. Gadis yang menjabat sebagai kekasih dari si pemuda lagi-lagi mengusap bahu untuk menenangkan ia yang sangat terluka. Jelita itu sudah bingung harus bagaimana, hingga yang dapat ia lakukan hanya mengusap bahu kekasihnya berharap dapat meredakan rasa bersalahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atelier✔
Fiksi Penggemar"Ini bukan hanya tentang cinta dan kita. Ini juga tentang bertahan dari sebuah gangguan mental" ©sshyena, 2020