"Happy new year everybody!!!" seruan itu berasal lantai atas. Siapa lagi kalau bukan si biang rusuh alias Tamiko Radiansyah.
Laki-laki itu baru bangun setelah semalam pulang pukul dua. Iya, ngaret sejam dari janjinya dengan Ayah. Ia pikir Ayah sudah tidur, tapi ternyata beliau menunggu di ruang tamu sampai semua anaknya pulang. Dan karna yang paling tidak bisa menepati janji itu Miko, Ayah langsung menjewer telinga anak tunggalnya, lalu memarahi pemuda itu karena pulang terlambat.
Setelah berteriak heboh, Miko turun menuju dapur karena penasaran kenapa tidak ada yang menyahut seruannya. Sampai di bawah, benar, tidak apa siapa pun di sana? Dia ditinggal sendirian apa ya?
"Bunda? Ayah?" panggil lelaki itu sembari menggaruk lehernya yang terasa gatal.
Ia kemudian berjalan menuju dapur dan menemukan Kaltha yang baru saja masuk setelah menjemur handuknya di luar. Gadis ini sepertinya baru selesai mandi karena wangi sabunnya masih menguar.
"Ayah sama Bunda ke mana?" tanya Miko sembari mengambil gelas yang biasa ia gunakan untuk minum susu.
Gadis Nadindra itu duduk di meja makan sembari mengambil selembar roti dan mengoleskan selai di atasnya. "Ke rumah Kak Navi ," jawab Kaltha tanpa menoleh.
"Ngapain?" heran Miko membawa susu cokelatnya ke meja makan.
"Mana gue tau!" balas gadis itu acuh.
Miko tak menghiraukan lebih lanjut. Ia menikmati susu cokelatnya yang masih hangat. Memang tidak ada yang lebih nikmat dari susu cokelat panas dipagi hari.
"Lo kenapa nggak ikut?" tanya Miko kini ikut meraih roti tawar.
"Muales!" seru gadis itu.
Pemuda itu mengangguk saja mendengar jawaban sepupunya.Tak ada lagi yang bicara. Keduanya sibuk sendiri dengan makanan masing-masing. Namun Kaltha jadi teringat tentang kejadian tadi malam. Saat Gathan bertanya siapa yang akan ia pilih di antara Gathan dan Aqsal. Bahkan sampai sekarang ia masih belum tau harus memilih siapa. Apa ia tidak usah pilih keduanya saja, ya?
"Miko," panggil Kaltha setelah mengunyah habis rotinya.
"Hm?" pemuda itu tak menoleh dan hanya fokus pada makanannya saja.
"Semalam Gathan nembak gue."
"Uhuk!" hampir saja susu coklat itu nyembur.
"Apaan sih? Segitunya lo sampe kaget?!" seru Kaltha tak percaya dengan respon sepupunya.
"Tiba-tiba banget, anjir?" balasnya setelah batuknya usai.
"Ya, nggak tiba-tiba lah! Gue udah deket sama dia dari kapan, njir?! Jadi wajarlah dia mulai bergerak!" jelas Kaltha.
"Terus, lo terima?" tanya Miko kini menumpu atensi pada sepupunya.
"Belum tau gue. Menurut lo gue terima apa nggak?"
"Dih! Napa nanya gue?!"
"Ya, 'kan minta saran!"
"Ikutin kata hati lo, Tha. Kalau hati lo nyamannya sama Gathan, ya terima Gathan!!" Miko kini mulai membelah antensinya antara Kaltha dan roti selai.
"Tapi gue nggak enak sama Aqsal," jawabnya dengan nada yang tidak bersemangat.
"Hah??" Miko menatap Kaltha tak mengerti. Kenapa sepupunya ini malah tidak enak dengan Aqsal? Kan bagus dia jadi nggak digantung lagi sama Kaltha. Semuanya jadi jelas!
"Gue bingung Miko! Aqsal baik banget sama gue! Jadi gue nggak tega nyakitin dia!"
"Emang Gathan jahat gitu sama lo?"
"Ya baik juga! Tapi kan—"
"Tha, Aqsal pernah bilang gini ke gue," potong Miko padahal Kaltha belum selesai bicara.
"Resiko suka sama orang itu ya sakit hati. Itu salah satu hal yang nggak bisa dihindari. Jadi harus bisa ditanggulangi sendiri," sambung Miko membuat hati Kaltha makin gundah gulana. Bukannya tenang, malah makin kepikiran.
"Terus gue harus gimana?!" rengeknya merasa bingung.
"Ya pilih. Gathan atau Aqsal. Atau mau sama Biru saja?"
"Mending nggak usah milih kalau gitu!" marahnya kemudian meninggalkan Miko yang tertawa melihat raut kesal sepupunya.
Gadis itu masuk ke kamarnya dengan sedikit membanting pintu. Ia menjatuhkan tubuhnya di kasur karena moodnya jadi tidak enak. Entah apa yang harus ia lakukan sekarang.Tak lama, ponsel Kaltha berdering tanda ada telepon masuk. Segera gadis itu meraih ponselnya sebelum panggilan terputus. Nama Aqsala tertera di sana. Baru saja dibicarakan, sudah nongol saja.
Kaltha menggeser tombol hijau kemudian mendekatkan ponselnya ke telinga. "Halo?" sapanya lebih dulu.
"Pagi Kaltha," balas laki-laki itu.
"Iya, pagi," jawab Kaltha canggung.
"Gimana semalam sama Gathan?" tanya Aqsal nampak antusias. Ah, bahkan laki-laki ini sepertinya tak tau apa yang sedang terjadi.
"Nggak gimana-gimana sih," sungguh, Kaltha tak tau harus menjawab apa. Bahkan rasanya jadi semakin rumit sekarang.
"Kamu udah tau jawabannya?" satu pertanyaan itu sukses membuat Kaltha mengerut kebingungan. Jawaban apa?
"Jawaban?" tanya Kaltha keheranana.
"Gathan udah minta kamu buat milih, 'kan?"
Astaga! Ini mereka berdua sekongkol apa gimana sih? Dari mana pula Aqsala tau bahwa Gathan memintanya untuk memilih semalam. Oh tunggu, mereka bersahabat, jadi bisa saja Gathan sudah bercerita dengan Aqsal tentang apa yang terjadi semalam.
"Kamu kok tau?" tanya Kaltha masih berusaha memastikan meskipun ia tau jawabannya.
"Aku sama Gathan sahabat, ingat?"
Nah kan!
"Eummm.... Gimana ya sal?" gantung Kaltha. Sungguh! Ia tidak tau harus menjawab apa.
"Kenapa?"
"Kamu mau nagih jawabannya Gathan, ya?"
Terdengar tawa dari seberang teleponnya, "Iya," jawab laki-laki itu kemudian.
"Sal, aku—"
"Tha, siapa pun pilihan kamu, itu nggak masalah. Yang penting kamu bahagia. Kalau nggak bisa jadi sebuah hubungan yang spesial, kita masih bisa jadi teman, 'kan?" potong Aqsal sebelum Kaltha selesai bicara.
Kaltha diam mendengar itu. Sebenarnya ia memang sudah memutuskan. Namun kepalanya membuat banyak pertimbangan hingga hatinya ragu-ragu. Tapi jika dua manusia ini memang mau ia memilih, baiklah! Akan ia pilih!
"Sal," panggil Kaltha untuk memastikan apa laki-laki itu masih ada di sana.
"Iyaa?" jawabnya dengan suara yang lembut.
"Kalau kita berteman, kamu masih mau buatin aku puisi, 'kan?"
Mohon maaf lahir bathin teman-teman semua!❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Atelier✔
Fanfiction"Ini bukan hanya tentang cinta dan kita. Ini juga tentang bertahan dari sebuah gangguan mental" ©sshyena, 2020