21| G u e s t

1.6K 225 27
                                    

Bunyi bel membuat Kaltha yang tadinya sedang berkutat pada laptop langsung menoleh ke arah pintu. Ia penasaran, siapa yang malam-malam begini bertamu. Tidak mungkin Vanya 'kan? Karena sahabatnya itu masih di Kanada. Apa mungkin Ditto? Mau apa Ditto datang malam-malam begini? Kaltha melirik jam, sudah hampir setengah sembilan. Menurut peraturan yang ia dapat dari Navi, tak boleh lagi ada tamu setelah jam delapan. Itu artinya, ia tidak bisa mengizinkan tamu ini masuk. Ah, andai saja mengusir orang itu gampang.

Gadis bersurai panjang itu melirik dari lubang pintu. Tunggu-tunggu, ia tidak salah lihat 'kan? Audrey ada di depan pintunya? Menekan bel seakan sedang bertamu. Kesambet apa gadis menyebalkan ini?

"Jangan terima tamu kalau udah lewat jam delapan," seketika, pesan Navi langsung terputar di otaknya. Jadi, menolak tamu ini tidak salah 'kan?

"Kaltha! Buka dong!" seru orang itu dari luar. Hei! Kita nggak seakrab itu!

Gadis itu menghela napasnya, biarkan saja. Nanti kalau capek juga pergi sendiri.

Ya, kalau saja dia tidak keras kepala dengan terus-terusan memanggil Kaltha. Kalau nggak mikirin tetangga, mungkin Kaltha tidak akan melakukan ini.

Pintu terbuka. Tanpa basa-basi apalagi cepika-cepiki, Kaltha langsung bertanya "Kenapa?" dengan nada yang tak santai.

Si tamu tersenyum kemudian masuk begitu saja. Ia juga sudah duduk manis di sofa.

"Mau bertamu aja. Kenapa emangnya?" balas gadis itu menilik unit Kaltha yang nampak rapi.

"Gue nggak terima tamu di atas jam delapan. Jadi lo boleh pergi sekarang," usirnya membuka pintu lebar-lebar. Berharap tamu menyebalkan ini segera keluar.

"Nggak sopan banget sih lo, ada tamu disuguhin minum kek. Malah diusir," jawabnya menyebalkan.

Kaltha menghela napas, menghadapi Audrey memang harus menyediakan tenaga ekstra. Gadis itu menutup pintu dengan sedikit keras, lalu berjalan mendekati Audrey.

"Apa sih mau lo?" tanya gadis itu tak santai.

"Bertamu, silaturahmi. Nggak boleh?" tanya Audrey menatap Kaltha yang sudah berkacak pinggang.

"Nggak," tolaknya mentah-mentah.

"Duh, salah pilih pacar nih Gathan" celetuknya begitu saja.

"Maksudnya?" tantang Kaltha maju selangkah.

"Ya, salah. Pacarnya ini nggak ramah, tamu dateng malah diusir. 'Kan nyebelin ya?" balas Audrey kini berdiri dihadapan Kaltha.

"Yang nyebelin itu lo. Malem-malem bertamu, nggak jelas!" balas Kaltha melipat tangan di dada.

"Ini masih setengah sembilan Kaltha. Astaga, aneh lo, ya. Itu sebabnya Gathan nggak serius sama lo. Lo nya aneh gini," Kaltha berdecih mendengar itu. Oh, jadi dia ingin melawan Kaltha?

"Yang pantes jadi pendamping Gathan itu gue. Lo nyadar dong! Lo cuma jagain jodoh orang!" sambung Audrey ikut melipat tangan di dada. Seolah sedang membanggakan dirinya.

Kaltha tertawa renyah, "Pantes lo sama Gathan putus, lo nya halu gini," balas Kaltha sarkas.

"Hei! Gue nggak diputusin, gue yang mutusin!" sanggahnya cepat.

"Ya udah, lo yang mutusin lo yang harus pergi dong! Kenapa masih di sini coba? Maksa minta balikan lagi! Sadar, Gathan udah punya pacar!"

"Kalau nggak karna gue harus pindah ke Swiss, gue masih pacaran sama Gathan sampai sekarang!"

"Oh ya? Kalau semesta bilang ternyata kalian harus udahan, gimana?"

"Ya nggak mungkin lah, gue sama Gathan itu saling mencintai. Jadi nggak bakal putus."

Atelier✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang