Satu tahun kemudian...
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Tujuh remaja beranjak dewasa sedang berkumpul di unit apartemen milik salah satu dari mereka. Unit ini memang sudah jadi basecamp bagi mereka untuk berkumpul. Siapa lagi kalau bukan Gathan. Karena ia tinggal sendiri, mereka sering menjadikan rumah Gathan sebagai rumah kedua. Ke mana pun perginya, ujung-ujungnya mampir ke sini juga. Seperti sekarang, mereka berniat untuk menginap di rumah Gathan karena sudah lama tidak berkumpul. Penyebabnya sama seperti penyebab kebanyakan orang. Kesibukan masing-masing dari mereka. Seperti Biru yang menjadi bagian dari orgaisasi kampus. Atau Galang yang sudah di akhir semeser dan dalam waktu dekat akan melaksanakan ujian nasional.
"Ah, cemen banget lo! Lawan dong, dari tadi gue mulu yang menang!" seruan itu berasal dari Miko yang sedang bermain ps bersama Biru.
"Nggak usah sombong lu! Baru menang dua kali aja belagu!" balas Biru yang tak terima skil bermain psnya diremehkan oleh Miko.
"Yahaa!! Kalah, 'kan! Udah gue bilang yang bener main tuh!" sorak tunggalnya Bunda Oza yang baru saja memenangkan permainan balapan mobilnya.
"Dah lah! Males!" rajuk lawan mainnya yang sudah kalah tiga kali dari Miko.
Di sudut lain ada Mada dan Aqsal yang sedang bertukar cerita dengan ditemani secangkir kopi yang tadi dibawa Mada. Dua manusia itu memang paling nyambung kalau bicara. Sampai kadang mereka yang mendengar tidak mengerti mereka membahas apa. Di ruang lain, ada tiga sisanya yang sedang makan tanpa sudah. Galang, Byan, dan Gathan yang sejak tadi berada di dapur sembari makan makanan yang dibawa Galang. Byan dan Gathan sambil bercerita sedangkan Galang sibuk dengan soal ujiannya.
"Arrgghh!! Kena kann!!!" seruan itu berasal dari Dirhaza Galang Ardana. Ia baru saja meneriaki bukunya yang terkena cipratan kuah mi instan.
"Makanya, makan mah makan aja, jangan sambil belajar," sahut Byan sembari menertawai raut kesal sahabatnya.
"Gue bahkan nggak punya waktu buat makan dengan santai. Semua kerjaan gue sambi belajar," dumalnya dengan mulut mengunyah mi.
"Ambis banget," Gathan geleng kepala. "Jam berapa sih?"
"Sembilan," jawab Byan yang masih sibuk makan.
"Aku mau ke minimarket, ada yang mau nitip?" pertanyaan yang dilontarkan Aqsal membuat Gathan langsung berdiri.
"Ikut!" serunya kemudian mengambil jaket.
"Mau ke mana lo?" tanya Mada.
"Ngambil obat," jawab Gathan tanpa menoleh karena buru-buru.
"Ganti dosis lagi, Than?" celetuk Biru yang tidak sengaja mendengar percakan mereka.
"Yoi! Yuk Sal. Naik apa?" ajak pemuda itu setelah siap.
"Motorku aja."
Motor matic Aqsal membelah jalanan. Setelah membeli beberapa cemilan dan minuman, Gathan kini membawa Aqsal untuk mengambil obat yang sudah diresepkan untuknya. Karena Gathan yang tau lokasinya, maka laki-laki itu lah yang membawa motor Aqsal membelah jalanan kota yang masih saja ramai.
"Udah berapa kali gonta-ganti dosis?" tanya Aqsal di sela-sela laju motor Gathan.
"Udah sering. Sesuai kebutuhan sih," jawab si pengemudi agak berteriak karena takut temannya tak mendengar.
"Capek, ya?" tanya Aqsal lagi.
"Capek sih, tapi mau gimana lagi?"
Kekehan kecil dari Aqsala terdengar di antara bisingnya jalanan. Malam ini tak terlalu ramai. Namun yang namanya jalan raya, pasti ada saja kendaraannya. Perjalanan menjemput obat Gathan sudah hampir sampai. Dengan begitu Gathan memelankan sedikit laju motornya karena ingin bicara dengan Aqsala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atelier✔
Fanfic"Ini bukan hanya tentang cinta dan kita. Ini juga tentang bertahan dari sebuah gangguan mental" ©sshyena, 2020