-throwback-
(masa sebelumnya)
Jakarta mulai memasuki musim hujan yang tak beraturan. Terkadang terik setelah hujan, kadang hujan deras sampai banjir, bahkan hujan panas. Rintikan hujan berjatuhan menyentuh besi-besi genteng gudang lawas yang jarang tersentuh."Ngapain di sini?"
Jinan kala itu duduk diam bersender pada dinding kotor dan lantai keramik belakang sekolah yang terpercik air hujan, hanya untuk memandang kosong ke depan. Entah pada daun-dauh yang basah atau pohon yang bergerak lengang.
Tapi suara yang tiba-tiba datang itu mengalihkan pandangannya pada dua mata hitam legam yang menatapnya lembut.
"Cuma duduk," Jinan tersenyum tipis, kini memandangi pemuda itu yang memilih berdiri bersandar pada tembok depan Jinan dengan kedua tangan dalam saku celana. "Kamu kenapa di sini?"
"Nyariin kamu," jawab Karel tersenyum kalem.
Jinan menggigit bibir dalamnya menahan senyuman malu. Matanya memindai seragam Karel yang sedikit lecek, rambut yang sedikit lepek karena keringat bercampur air hujan, dan dasi yang tidak terpasang.
Pemuda itu bisa menghabiskan waktu istirahat atau jam kosongnya di lapangan basket bersama timnya atau bahkan sendirian.
"Aku cuma ngantuk aja, jadi ke sini," Jinan menjeda sebentar ucapannya. "Bentar lagi kamu pertandingan di ulang tahun sekolah? Jangan forsir latihan kamu. Takut sakit di hari H."
Jinan benar. Karel seringkali memforsir dirinya terlalu berlebihan di lapangan basket. Jika bisa ia akan bermain terus di rumah. Basket adalah dunia Karel. Semenjak di mana Karel memanggil namanya ketika MOS atau ketika pemuda itu terang-terangan 'menembak'-nya di lapangan basket sehabis pulang sekolah. Jinan selalu tahu.
Maka dari itu Karel tertawa geli seolah perkataan Jinan adalah lelucon. Karel otomatis mendekat. "Nggak ada yang forsir, Ji. Lagian kalo nggak gitu gimana mau menang, kan?" Tangannya terulur pada Jinan di bawahnya. "Mau susu pisang, nggak?"
Senyum Jinan terkulai manis, menerima uluran tangan Karel dengan senang hati. Hangat dirasanya sentuhan Karel di bawah kulitnya, ketika jemari itu satu-persatu menelusupkan di sela tangannya. Tepat ketika hujan mulai mereda, memancarkan hangat di letupan-letupan jantungnya.
Karel itu manis.
Hanya dengan Karel, ia merasa dunianya akan baik-baik saja.
Hanya dengan Karel, ia akan merasa hidupnya bukan lagi kotak kejutan yang diiringi ketakutan.
Di bawah sinar matahari itu, Karel-hanya Karel, yang memandangnya sehangat ini. Tidak ada yang lain. Cuma Karel. Lorong-lorong gedung mereka lalui, gudang penumpukan meja kursi, dan laboratorium bahasa.
"Ji.."
Jinan menoleh, menatap Karel yang memandangnya sambil menyedot susu pisang kesukaannya. Kala itu mereka duduk di bawah hamparan rumput belakang sekolah, tepat di bawah pohon besar yang konon dulunya memiliki cerita mistis. "Hm, kenapa, Rel?"
Karel menatapnya intens. Penuh kelembutan yang selalu sukses meluluh-lantakan hati Jinan setiap saat. Mata dengan sorot lembut itu memindai setiap titik wajah Jinan dengan kurva lembut di ujung bibir.
"Nanti sore kamu sibuk?"
Jinan berpikir sebentar, sebelum menggeleng pelan. "Nggak kok."
"Sore ntar aku boleh ke rumah kamu?"
Barulah Jinan terpaku, menarik perlahan sedotan itu dari ujung bibirnya menahan ekspresinya yang hampir berubah kentara. "Eung... emangnya..mau ngapain?"

KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Teen FictionHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...