15.

62 10 0
                                    

..

aku kira memang sudah terbiasa jika mendengar nama kamu. aku kira memang aku akan baik saja. tapi aku terkecoh. aku kembali tunduk.

maaf. aku ingkar untuk melupakan kamu.

Tumpukan buku di atas meja dibiarkan berserakan tanpa tersusun rapi meski hampir memenuhi atas meja, sementara ia mengeringkan rambutnya menggunakan handuk putih tebal dengan fokus. Handuk putih itu ia biarkan menggantung di kursi belajar—kebiasan buruk yang tidak akan pernah berubah—, lalu memperhatikan setiap inci wajahnya sendiri lewat pantulan cermin.

Aneh. Sejak kapan wajahnya jadi memerah begini.

Jinan meneguk ludah sedikit. Mengingat bagaimana tadi siang ia meminta Bima untuk mengantarkan titipannya pada sang mantan yang katanya sedang terpuruk. Kemudian ia merutuki dirinya yang masih saja berani memberikan sesuatu untuk cowok itu di saat dirinya diminta untuk melupakan. Sisinya yang lain tidak bisa berbohong bahwa ia memang khawatir.

Jinan selalu tahu bahwa basket segalanya bagi Karel. Dia tahu bagaimana lelaki itu yang terlalu memforsir diri ketika menjelang pertandingan.

Pertandingan...

Pantas saja. Beberapa hari lagi ada festival besar di sekolah. Pertandingan tahun ini tentu bukan pertandingan biasa, tapi berkaitan antarprovinsi. Dia bisa membayangkan bagaimana down-nya Karel jika sampai tidak bisa ikut mewakilkan sekolah mereka.

..

"Nanti Jinan, Erwin, sama gue bagian dokumentasi."

Kalimat itu mengakhiri ucapan Alaska waktu pemuda itu membacakan pembagian tugas di acara festival nanti. Dibagi dalam beberapa tugas : desain, dokumentasi, publikasi, sampai photoshop. Alaska tentu tidak akan bisa jauh dari kameranya.

Jinan mendekati Alaska yang sedang mengutak-atik kameranya ketika kelas desain baru saja selesai. Meski perhatiannya beberapa kali mencuri pandang pada kamera analog Alaska yang cukup unik.

"Al."

"Hm."

Jinan berdecak, mendudukan diri di sebelah Alaska. "Kenapa gue bagian dokumentasi?"

"Kenapa emangnya?" tanya Alaska balik.

"Gue nggak bisa pegang kamera. Nggak pernah juga."

"Ya belajarlah."

Alaska berkata seolah-olah itu hal yang mudah saja. "Jangan, deh, ntar hasilnya jelek lo malah ngomel. Mendingan yang lain aja gitu. Temen lo yang cowok pada jago."

"Gantian." Alaska menggeleng tegas. "Gue nggak mau pake mereka lagi karena gue tau mereka banyak ngambil gambar cewek cheers ketimbang yang lain."

"Ya udah, temen cewek yang lain," melas Jinan. "Lagian gue nggak suka di tempat ramai, Al."

Jinan bisa membayangkan bagaimana dirinya nanti di lapangan, panggung, atau bahkan di gimnasium dan di antara orang-orang ramai... dirinya pasti menciut. Dia tidak suka.

"Lo nggak ngapa-ngapain di sana. Cuma ngambil gambar abis itu udah, selesai. Jangan dibawa repot."

Wajah Jinan merengut sebal. Berusaha mencari alasan-alasan lain yang lebih masuk akal. "Kan gue bilang nggak bisa pegang kamera. Mau belajar juga kameranya nggak ada karena nggak minat juga."

Barulah Alaska menoleh padanya, mengamati sekilas wajah Jinan. Dia tahu gadis itu berusaha membuat alasan. "Nanti pake kamera gue."

Jinan menggeleng cepat. "Nanti kalo rusak gimana? Nggak ah." Lagipula Jinan tahu jika kamera itu sudah seperti 'harta' Alaska yang tidak boleh tersentuh.

.niskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang