"OMG! Dasar playboy bajingan! Dari awal gue udah tau dia cuman mau jadiin gue salah satu mainan dia doang. Hah, dia pikir yang dia hadapin ini cewek lemah."
Suasana cafe yang terbilang hitz kala itu ramai, didominasi beberapa kalangan anak muda seperti mereka. Meski sibuk dengan ponsel masing-masing dan mengobrol dengan teman tongkrongan, tetap saja pekikan Neli ampuh membuat mereka menoleh.
Jinan meringis melihatnya. "Nel, suara lo kecilin."
Neli berdecak kemudian mengacungkan ponselnya di hadapan Jinan. "Liat, nih kelakuannya si Cakka Sembung. Baru kemarin ngajak gue jalan, eh... sekarang tiba-tiba udah repost instastory sama anak Bahasa," tandas Neli tidak peduli pada ocehan Jinan.
Hari ini Neli mengajaknya (baca : memaksa) untuk menemaninya ke Gramedia. Bilangnya untuk membeli buku-buku tentang hukum titipan kakaknya. Tentu saja Jinan menolak keras karena selain malas, dia tidak pernah berminat pergi di satu tempat yang ramai. Tapi Neli tidak kenal tolakan dan mengancam akan mendatangi rumahnya bagaimana pun caranya.
Dan Jinan tidak ingin hal itu terjadi—meski Neli belum tentu tau di mana rumahnya. Membawa orang lain ke rumahnya sama saja telanjang. Tidak menutup kemungkinan bahwa Deline akan mempermalukannya. Apalagi ada pria bejat di rumah—yang mana hampir semua orang tahu siapa itu Barata Dinata yang wajahnya nyaris sering muncul di berita televisi nasional, media sosial, sampai berita online.
"Biarin ajalah. Kalo udah tau dia gitu, nggak usah ditanggepin lagi," sahut Jinan kalem.
"Dih! Najis gue ngeladenin buaya. Udah ah, nggak usah dibahas lagi," oceh Neli membuat Jinan mendelik. Pasalnya, yang membahas ini duluan 'kan Neli.
"Ji.."
Jinan menanggapinya dengan menaikkan alis saat sadar sedang menyeruput kopi.
"Lo beneran nggak mau cerita muka lo bonyok kenapa?" tanya Neli kali ini lebih serius. "Gue nggak percaya deh lo bilang kepentok atau apalah itu."
Mustahil bagi Neli—atau siapapun yang melihat wajah Jinan langsung percaya jika itu hasil perbuatan kepentok. Tidak ada kepentok yang menghasilkan lebaman dan memar. Neli tahu mungkin ia tida seharusnya kembali bertanya pada temannya itu karena ia menghargai batasannya, tapi rasa khawatir memang sebaiknya disuarakan ketimbang diam tanpa berbuat apapun.
"Emangnya selain kepentok, muka bonyok harus diapain?" tanya Jinan malas. "Udah ah, jangan dibahas. Nggak penting tau."
Neli mencebik kesal. Mengunyah cemilannya dengan cepat. Beberapa waktu setelahnya Neli membahas tentang kakaknya yang sebenarnya lebih tertarik di bidang teknologi ketimbang hukum. Neli malah sebaliknya, ia lebih memilih hukum ketimbang bidang kesehatan yang telah diatur kedua orangtuanya.
Mungkin sebagian—dan kebanyakan orangtua lebih memilih jalan mereka sendiri dibandingkan mengikuti pilihan anaknya dengan alasan jika pilihan mereka adalah pilihan yang terbaik.
Terbaik, jika beruntung. Sebaliknya, justru menjadi tekanan.
Jinan sedikit kurang relate dengan cerita Neli karena jalan hidupnya sendiri masih abu-abu. Dia tidak bisa memprediksi bagaimana hidupnya besok, entah seperti apa atau malah bisa jadi tiba-tiba mati. Alasan lainnya adalah mungkin, ia terbiasa menjalani semuanya sendirian. Jinan tidak pernah berdampingan dengan nasihat orangtua.
Pusat perbelanjaan masih seramai biasanya. Sementara langit sudah mulai oranye karena menjelang menit-menit senja, Neli masih betah mengajaknya berjalan-jalan. Kali ini ke mall hanya untuk sekedar melewati area game, photobox, lalu berhenti di depan antrean kedai es krim.
KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Fiksi RemajaHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...