Rooftop sekolah itu sepi. Hanya beberapa siswa yang mengunjungi biasanya, mungkin untuk belajar bersama atau tiduran. Tapi kali ini hanya ada mereka berdua yang berdiri di palang pembatas yang menjaga mereka dari ketinggian. Sinar matahari meredup meski masih dengan sinar oranye yang lumayan cantik.
Tidak ada yang berbeda dengan pertemuan sebelumnya. Suasana hening masih melingkupi dua insan di atas rooftop sekolah padahal pertemuan mereka sudah diawali dari kurang lebih 6 menit yang lalu. Masih dengan pikiran masing-masing.
"Gimana keadaan mama kamu?"
Jinan yang pertama kali membuka suara setelah pergumulan di kepala, menimang-nimang kira-kira pertanyaan apa yang harus dilontarkan dari banyaknya kata yang ingin disampaikan. Di depan sana, Karel masih memandang pada jejeran gedung-gedung tinggi dan hiruk pikuk keramaian di kota. Otaknya masih memproses pertanyaan yang dilontarkan gadis itu sebelum akhirnya menjawab pelan. "Udah pulih. Cuma belakangan ini harus lebih rajin kontrol aja."
Tiba-tiba saja, entah mengapa rasanya Jinan merasa malu setelah melontarkan pertanyaan itu. Malu karena apapun yang terjadi di antara mereka dan komplikasi antara ibunya dan ayah Karel, cowok ini memang masih sebaik ini dengan dirinya.
Semenjak ia menolak panggilan dari Karel, gadis itu sendiri yang meminta mereka untuk langsung bertemu. Sebenarnya dia tidak suka berbicara via telepon karena rasanya beribu kali lipat rasa gugupnya.
"Sebenernya kemarin aku mau nanya sesuatu sama kamu."
Karel membuka suara. Terdengar familiar dan santai seolah mereka memang terbiasa mengobrol.
"Soal...apa?" tanya Jinan, mengawasi Karel di sebelah.
"Papa aku... masih sering ke rumah kamu?"
Jantung Jinan rasanya ingin meledak mendapat serangan itu. Napasnya tertahan kala Karel akhirnya benar-benar menatapnya untuk menanti sebuah jawaban. Sebenarnya ia hanya butuh menjawabnya dengan jujur, atau tidak sama sekali dan memilih alasan lain.
Tapi jika ia memilih salah satu jawaban di atas, bagaimana reaksi Karel? Dan bagaimana nanti ia menghadapi reaksi Karel?
"Kalo kamu nggak bisa jawab, nggak pa-pa." Karel memberinya pengertian. Hak yang membuat Jinan kian merasa bersalah. "Aku cuma mau tau aja untuk mastiin dia udah pulang dari Kanada."
Kelopak mata Jinan terkulai lemah. Perlahan napasnya memberat ketika ia mencoba menjawab. "Kadang iya." Jinan bisa merasakan kepala Karel kembali menoleh. Ia memilih jarinya dan enggan menatap balik cowok itu. "Aku nggak tau gimana caranya untuk... bilang sama mereka kalau semuanya salah. Jadinya yang aku lakuin cuma selalu menghindar."
Meski sering kali justru dirinya yang dijadikan 'pelampiasan'.
Masalah itu tentu saja dia tidak ingin bilang pada Karel.
"Aku ngerti," gumam Karel.
"Karel..." Jinan memanggil namanya pelan. "Aku minta maaf setelah semua yang terjadi."
Tubuh Karel menegak.
"Maaf karena setelah hari di mana kamu udah tau semuanya, aku belum bilang maaf sama kamu. Maaf karena terlambat. Maaf juga karena nggak pernah jujur sama kamu," Jinan menahan agar suaranya tidak bergetar. "Karena aku terlalu takut-
Kehilangan kamu.
"-takut kamu bakal marah. Tapi ternyata kebohongan yang aku sembunyikan bikin kamu jauh lebih tersakiti. Maaf juga karena aku nggak bisa mencegah semuanya."
Karel menggeleng pelan. "Aku tau kamu nggak salah."
"Aku tau, kesalahan yang udah orangtua kita perbuat terlalu fatal untuk diterima sama kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Teen FictionHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...