Kali ini, hujan membayangi bumi lagi. Garis rintiknya membentuk tirai yang jatuh dari tepi-tepi genteng lalu turun menabrak tanah. Sejujurnya, Jinan tidak suka petrikor yang menguap dari tanah atau dari bau yang mengudara. Baunya begitu menganggu, menyesakkan, sampai-sampai membuat benaknya selalu jatuh flashback.Untuk sejak sejam yang lalu, Jinan hanya duduk bersandar pada dinding kotor yang di antaranya terletak tumpukkan kursi bekas di belakang sekolah. Dia hanya akan duduk di sana, sampai jam pulang sekolah benar-benar sepi. Jika hujan begini, Jinan jarang atau mungkin tidak suka berada di rumah. Karena yang ia temui hanyalah kabut-kabut gelap di sudut-sudut kamar.
miauw.
Jinan berjengit kaget saat bulu-bulu halus terasa menyentuh permukaan kulitnya. Ukurannya sedang dan bulunya lebat sekali. Wajahnya lucu, sampai ketika dua kelereng kehijauan itu menatap Jinan, ia langsung berdiri kaget.
Jinan tidak suka kucing.
Bukan karena dia tidak suka hewan, atau alergi, atau apapun itu.
Kucing itu kembali mendekati kakinya, mendusel sepatu lalu melingkari betisnya seolah mencari perhatian ingin dimanjakan. Lagi-lagi Jinan menjauhkan kakinya. Mungkin sedikit keinginan untuk menyentuh bawah dagu atau punggung lucu itu muncul, tapi ia tidak mau.
Dia tidak siap.
Sejak di mana dengan mata kepalanya sendiri ia tahu anjing kesayangannya menghembuskan napas terakhir dengan bergelimang darah, Jinan tidak lagi menyukai hewan berbulu yang lucu, apapun itu. Bahkan ketika ada keinginan untuk menyentuh, rasa traumanya akan datang lebih besar.
Dengan gerakan cepat, ia menggeleng keras dan meraih tas ranselnya dengan cepat. Menuju gedung ekskul. Kelas desain mungkin sudah mulai dari beberapa waktu lalu dan Alaska bisa jadi mengomelinya. Tapi beruntungnya, waktu ia naik ke lantai dua, ruang futsal sudah sepi. Huft, syukurlah.
Gadis itu mengetuk pintu kelas yang terbuka membuat mereka di sana menoleh ke arahnya serempak. Sebagian memandangnya bingung—karena tidak pernah melihat Jinan yang berbeda jurusan, sisanya memandangnya aneh. Jelas karena gadis itu yang hampir tidak pernah masuk dan tiba-tiba datang seperti jailangkung.
"Maaf saya terlambat." Jinan tersenyum canggung pada pengajar yang terlihat muda itu. Bang Satya, alumni Gelora Bangsa yang memilih menjadi tutor di kelas desain mereka sebagai side job.
"Nggak pa-pa, masuk aja." Bang Satya menjawab kalem. "Namanya siapa?"
"Jinan ... pak."
Dengusan yang ia tahu sengaja itu datang dari meja Alaska. Pemuda itu menatapnya dengan tatapan mengejek dan tawa tertahan.
"Panggil Bang atau Kak aja. Saya masih muda," jelas Bang Satya dengan tawa kecil. Jinan mengangguk sopan dan mengambil tempat di meja sebelah Alaska.
Meja di sana tidak banyak karena siswa yang terpilih masuk di kelas ini memang tidak diambil banyak. Mungkin tidak sampai duapuluh meja yang terisi. Semuanya duduk sendiri-sendiri untuk satu meja yang di atasnya telah tersusun komputer, bahkan biasanya di susun melingkar. Ruangan ini sebenarnya sangat luas dan dingin. Di bagian belakang ada beberapa loker dan ambal berbulu untuk bersantai.
Tapi yang Jinan baru sadari adalah sebuah ruang kecil di belakang kelas. Ruangan itu tertutup rapat dan jika dilihat dari sela kaca di atas pintu, di sana terlihat gelap. Mungkin jarang digunakan.
"Kagum deh gue tiba-tiba lo dateng."
Jinan melirik Alaska yang tidak melepas fokusnya dari komputer di depan. Dengan posisi seperti itu saja ada celah bagi Alaska untuk mencibirnya lagi.
"Bagus dong, harus lo kasih apresiasi."

KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Fiksi RemajaHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...