-throwback-
(Masa sebelumnya)"
Sialan!"
Makian itu datang seiring wajah Jinan terlempar ke samping. Rasa panas dan perih membayang sisi wajahnya, menjalar sampai telinganya berdengung. Tapi belum seberapa dengan rasa emosinya yang bertumpuk di ujung kepala.
"Keluar!" Teriakan itu bergema memenuhi ruang tamu. Sampai Jinan sendiri takut pita suara itu putus. "Muak saya lama-lama liat muka kamu. Karena kamu.. cuma bawa masalah di sini."
Tangan Jinan mengepal erat. Rasa panas membakar dadanya sampai ke tulang. Dia tidak tahu mana yang membuat emosi, kata-kata itu atau perlakuannya. Mungkin semuanya.
"Mama pikir aku mau di sini?" Jinan menelan napasnya yang memburu. "Kalo aku pergi juga mama masih maksa aku tinggal di sini 'kan?!"
Deline-mama Jinan maju selangkah lebih dekat. Wajahnya perlahan mendingin, seolah berusaha menegaskan bahwa ia akan melakukan apapun saat itu juga. "Kamu ingat apa yang selalu saya peringatkan dari dulu?" Mata Deline memindai tajam Jinan. "Jangan. Lawan. Saya. Apapun itu, kamu akan selalu berada di posisi yang salah."
Andai saja, andaikan jika Jinan tidak memiliki moral, mungkin mencabik wajah di depannya bukanlah sebuah dosa besar. Seperti ketika kalimat itu ditambahkan.
"Dan jangan lawan dia. Lakukan apa yang akan dia inginkan." Bisikan itu begitu mengganggu dan semakin mengobarkan emosi Jinan.
Dia...
Kalimat-kalimat yang akan Jinan ucapkan seolah tenggelam ke dasar. Mati-matian untuk menahan semua kata-kata yang mungkin nanti nyaris akan malah membunuhnya.
"Ini peringatan terakhir untuk kamu."
Deline melebarkan jarak mereka dengan tatapan peringatan, sebelum akhirnya berbalik meninggalkan kamarnya yang disusul bantingan pintu yang berdebum keras. Meninggalkan Jinan yang menatap nanar belakang pintunya.
Tatapannya hilang arah.
Malam itu ia ingat. Bayang-bayang menakutkan. Sepi. Ketika pita suaranya tak lagi sanggup mengeluarkan suara karena gencatan di bawah leher kecilnya yang masih berusia 10 tahun. Dia akan selalu ingat bagaimana hidupnya ada di sebuah tali kawat yang nyaris memutuskan lehernya. Rasanya hampir sama seperti sekarang, bedanya adalah kali ini ia tidak akan membiarkan dirinya mati.
"... brengsek."
Deline di matanya adalah perwujudan lucifer. Bukan seorang ibu.
Bahkan ketika dia yang disebutkan Deline nyaris mengambil sesuatu berharga dalam dirinya. Deline akan selalu membela dia.
Mungkin ini juga alasan mengapa Jinan tidak akan pernah memotong rambut tebalnya.
..
Panas terik membayangi bumi diiringi gema suara dari sound system yang terpasang di pinggir lapangan. H-1 acara ulangtahun sekolah memang sedang sibuk-sibuknya menyiapkan segala macam dekor, susunan acara, dan banyak hal lainnya.
Namun ini akan tetap menyenangkan jika saja melakukannya bersama teman.
"Di mana banner-nya? Kok belom dipasang, sih?"
Beberapa panitia di sana hanya saling melirik seolah bertanya-tanya 'emang itu tugasnya siapa?' ketika ketua panitia itu datang dengan suara lugasnya.
"Eh lo yang di sana." Ketua panitia dengan badgename 'Serena Kylora' memanggil seorang gadis yang menumpukkan beberapa kardus di pojok hingga menoleh. "Lo siapa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Teen FictionHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...