46

50 4 0
                                    

Jinan kira akan mudah berbicara dengan Neli. Tapi tidak, gadis itu marah besar dengannya.

"Nel..." Jinan berusaha menjangkau Neli, tapi gadis itu menghindar. Entah berpura-pura membereskan meja, atau mungkin menulis sesuatu di buku. Wajah datarnya seolah menggambarkan jika tidak terkejut dengan kedatangan Jinan.

Jinan beruntung kelas kosong karena seisinya merayakan pensi. Gadis itu menghela napas, mencoba duduk di samping Neli dan meletakan tongkatnya di bawah. Memperhatikan Neli yang menulis entah apa di buku. "Lo marah sama gue, ya, Nel?"

Neli tidak menjawab.

"Jangan gini dong, Nel... gue nggak tau salah gue di mana kalo lo diemin gue aja." Jinan berusaha mencari kata-kata yang pas. "Boleh nggak kasih tau gue?"

Neli berdecak ketika Jinan meraih lengannya dan dia menyentak. "Bisa diem, nggak, sih?"

Jinan terkejut. Seumur hidup mengenal Neli, gadis itu tidak pernah sekasar ini. Marah juga tidak pernah, apalagi mendiamkannya. Neli itu selalu saja cerewet. "Sorry..." ucap Jinan pelan. "Gue ada salah apa emangnya?"

Neli mendengus. "Nggak nyadar juga, ya."

Alis Jinan terangkat bingung. "Kalo lo aja diem begini, gimana bisa gue sadar sama kesalahan gue, Nel?"

"Temen lo itu gue atau Alaska, sih?"

Jinan tersentak diberi pertanyaan itu. "Maksudnya?"

"Lo nanya apa maksudnya?" salak Neli, kali ini dia menatap Jinan di mata. "Gue nanyain lo setiap hari waktu muka lo bonyok, atau waktu lo nggak masuk. Gue khawatir. Tapi kenapa lo nggak pernah mau jujur, sedangkan sama Alaska lo bilang? Alaska lebih tau banyak dari gue, kenapa gue enggak, Nan?"

Neli sangat kecewa. Awalnya dia kira akan baik-baik saja. Tapi waktu melihat Jinan datang dan seolah tidak terjadi apa-apa, rasanya Neli marah.

"Gue yang kenal lo duluan... tapi kenapa lo lebih sayang sama Alaska."

Baru ini, Jinan melihat Neli meledak. "Nel... gue nggak maksud buat—

"Nggak, lo udah ada maksud, Nan." Neli memotong. Helaan napasnya terdengar kasar. "Rasanya nggak enak, Nan, waktu lo ada di posisi cuma lo yang nggak tau apa-apa. Itu yang gue rasain. Gue kecewa karena lo nggak pernah berbagi sedikit pun ke gue, selalu aja lo pendem sendiri. Tapi ternyata Alaska yang lebih tau."

Neli langsung mengusap kasar wajahnya ketika air matanya tanpa sengaja turun bebas. Dia tidak mau menatap Jinan. Sementara Jinan sangat serba salah. Dia sadar sekali posisinya juga salah.

"Maaf, Nel." Bahu Jinan terkulai lemas. "Gue nggak bisa kasih tau lo karena... gue malu. Kenapa gue kasih tau Alaska karena—

Karena hanya cowok itu yang paham tentang luka-lukanya.

"—karena Alaska yang pertama kali liat gue terluka, Nel. Dia liat semuanya." Jinan merendahkan suaranya dengan hati-hati. "Gue bilang sama Alaska jangan kasih tau lo karena gue nggak mau lo khawatir. Gue malu..."

Gadis itu menunduk malu. "Gue malu... punya ortu abusive. Tiap hari, lo bakal liat gue bekas dipukul."

Tidak ada jawaban apapun, sampai Jinan kira Neli benar-benar marah. Namun suara isakan Neli membuatnya mengangkat wajah. Neli sudah dalam keadaan bengkak dengan isakan tangis yang deras. "Nel?"

"Gue juga khawatir, Ji. Gimana... gimana kalo kemarin lo beneran mati?" isak Neli. "Tiap hari...gue selalu datengin lo tapi lo nggak pernah bangun. Gue takut..."

Air mata Jinan lolos dengan rasa sakit yang mendera di sudut hatinya.

Neli menatapnya dengan derai air mata. Gadis itu berusaha menarik napas. "Maaf, ya, Ji. Maaf karena gue nggak peduli sama lo selama ini. Gue nggak pernah peka. Harusnya gue lebih perhatian lagi sama lo, tapi gue malah mikirin diri sendiri."

.niskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang