Gulungan karton di atas meja disusun merata dengan rapi di setiap sela-sela rak, lalu disusunnya lensa kamera ke dalam loker. Alaska menaruh dengan hati-hati ke dalam tas seolah takut akan tergores—karena memang begitu berharga. Bukan karena mahal saja, lensa-lensa kesayangannya juga yang membawanya ke dalam garis juara bahkan di perlombaan paking besar sekali pun.
Alaska pasti akan sibuk setelah ini. Dia perlu memutar ulang jadwal pemotretannya, bimbel, lalu menjaga Key. Belum lagi dia akan mempersiapkan belajar untuk masuk kuliah dan apply magang. Tapi ia masih harus fokus dengan apa yang di depan matanya. Fokus utamanya adalah kesehatan Key yang belakangan ini menurun. Meski dia memiliki kedua orangtua dokter berkompeten, Alaska rasa dia juga perlu memberikan dukungan moral dan banyak afeksi untuk gadis sekecil Key.
Pintu dibuka. Alaska masih belum menoleh, ia pikir paling anak desain. Sebelum langkah kaki itu mendekat pelan-pelan mendekati loker, Alaska lalu menoleh. Dia agak terdiam sebentar ketika Jinan membuka loker dengan langkah lunglai. Gadis itu meraih buku-buku, dan tas di sana.
Jinan menoleh, memberikan senyuman kecil. "Al."
Alaska hanya mengangkat alis, seraya memasukan lensa terakhir. "Hm."
"Selamat, ya."
Alaska mengangguk. Jinan menutup loker hati-hati. "Hati-hati sama belakang lo, ada lensa gue."
Jinan agak memajukan tubuh dengan hati-hati, lalu sedikit memberi jarak panjang. "Ah, iya." Kepalanya mengangguk pelan. "Gue pulang dulu."
Dan mungkin, ini yang Alaska maksud. Dia mengendus sesuatu yang aneh.
"Tumben baru pulang jam segini." Alaska membuka suara yang otomatis menahan langkah Jinan. Hingga gadis itu berbalik badan.
"Iya, tadi abis bersihin perpustakaan."
"Kenapa?"
"Dihukum." Jinan agak tersenyum malu. "Waktu itu gue telat... jadinya nggak ikut ujian. Dihukum dua minggu."
"Oh." Alaska mengangguk kecil.
"Gimana kabar Key?"
Alaska kira gadis itu akan pergi, tapi pertanyaan Jinan membuat Alaska mengangkat wajah ketika selesai membereskan peralatannya. "Udah sembuh. Dia bakal pulang juga hari ini."
Tidak ada jawaban atau reaksi dari Jinan. Perempuan itu hanya menatap Alaska, kemudian menghela napas halus. "Syukurlah kalo gitu."
Alaska hanya mengangguk. Pemuda itu tidak mengeluarkan sepatah kata apapun ketika Jinan bergerak sedikit gelisah di pendiriannya. Dia pikir, mungkin gadis itu akan mengatakan sesuatu. "Ayo pulang. Gue udah selesai di sini."
Jinan tersadar. "Ah, oke."
Mereka berdua keluar dari sana, sementara Alaska menutup pintu dan Jinan menunggu. "Al," panggil Jinan pelan.
"Hm?" sahut Alaska yang sedang mengunci pintu. Kemudian berbalik melangkah bersama Jinan.
Jinan menyiapkan kata-kata, menyembunyikan kedua tangan memarnya di belakang punggung. "Lo nanti balik lagi ke Jakarta Pusat?"
"Iya."
"Oh." Jinan berdehem. Entah rasanya hari ini dia agak canggung berhadapan dengan Alaska. "Kapan?"
"Lusa."
Jinan mengangguk lagi. "Okey."
Alaska mengulas senyum agak miring. "Gue udah tepatin janji kan kalo sebelum berangkat ngomong dulu sama lo?"
Jinan agak tersentak sedikit. Tak lama agak menunduk. "Udah ... Lama nggak?"
"Sebentar aja. 3 hari abis itu balik," jelas Alaska. Mereka sengaja berhenti tepat di koridor yang sepi. Tidak ada siapa pun yang berlalu-lalang kecuali mereka. Seolah Alaska sadar akan ada sesuatu yang disampaikan Jinan hingga gadis itu menatap matanya. Begitu sayu, tapi di lain hal Alaska tahu ada banyak yang ingin gadis itu katakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Teen FictionHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...