Ada banyak piala dan medali yang beragam bersejajar di dalam lemari kaca. Lengkap dengan foto-foto dalam bingkai di sana. Sengaja tidak ditaruh di dinding. Alaska menarik kursi belajar dan membuka macbook miliknya. Setelah mandi, dia memutuskan untuk melanjutkan kembali pengerjaan tugasnya yang belum selesai. Pandangannya teralih begitu menatap sebuah lukisan kanvas yang sengaja dia pajang di dinding, di atas meja belajarnya.
Itu lukisan dirinya yang sedang memotret. Latarnya biru gelap seperti malam, bercampur gradasi oranye seolah senja. Siapapun bingung yang melihatnya, entah malam atau sore. Tertanda di bawah sana, Jinan. Hari itu, tepat ketika di hari yang sama dia menerima kado ulangtahunnya, dia memutuskan untuk pertama kalinya akan membiarkan Jinan menjadi bagian dari hidupnya. Bagian dari perasaannya. Yang memiliki hak.
Alaska tahu, dia mungkin terburu-buru menerima seseorang sebagai pasangan dalam hidup. Tapi dia tidak menyesali itu sampai sekarang, ternyata tidak merepotkan yang dia kira, tidak juga semenyeramkan itu. Meski dia di sisi lain, ternyata lebih banyak hal menakutkan.
Dia merasa takut kehilangan. Sangat bukan dirinya sekali. Meski sebanding dengan euphoria yang tumbuh dan perasaan nyaman setiap berada di sisi Jinan. Perasaan yang selalu ia ingin cari terus... menerus. Alaska berusaha menikmati ini, tapi sebagian dari dirinya masih terjebak rasa gengsi.
"Kamu akan kuliah di Singapore."
Kalima itu datang di telinganya secara tiba-tiba.
"Singapore atau Boston. Waktu kamu nggak bakal banyak kalau pulang ke Indonesia nanti."
Jika dahulu, dia akan biasa saja mendengarnya, toh juga Alaska memang ada niat untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Namun sekarang, kakinya terasa begitu berat. Tepat ketika Mama meminta dengan lugas waktu itu.
"Di Indonesia juga cukup, Ma. Bisa jagain Key juga." Alaska menjawab waktu itu.
"Key akan dibawa juga, Alaska. Mama udah menunggu ini dari dulu. Alasannya adalah Galang nggak bakal bisa merawat Key, dia masih sibuk dengan dunianya sendiri. Hak asuh udah jatuh di tangan Galang."
"Satu-satunya pewaris rumah sakit kita di Singapore itu cuma kamu. Galang nggak pernah mau. Mama juga nggak tau, antara yang di Boston atau Singapore. Yang jelas, kamu akan ada di sana."
Alaska mungkin punya banyak bantahan lain, tapi akan percuma. Pikirannya penuh antara kuliah, tugas, projek lomba, belum lagi dia sempat bertengkar dengan Galang malam itu. Lagi-lagi tentang Key. Salahnya adalah dia khawatir akan jauh dari Jinan, tapi dia malah menyakiti Jinan. Dia mengabaikan.
"Gue selalu nunggu, Al."
Kata-kata itu menghipnotis dirinya. Memberi titik tenang jika mereka berdua akan baik-baik saja. Akan tiba dimana, Alaska akan berani jujur masalah ini.
..
Jinan celingak-celinguk di sekitat perpustakaan. Ternyata tidak ramai, Bu Dewi juga tidak ada. Syukurlah, jadi dia tidak disuruh-suruh lagi. Seraya memeluk buku-bukunya, Jinan memasuki perpustakaan sampai ke ujung. Bibirnya langsung tersenyum begitu melihat Alaska sedang mengerjakan tugasnya tanpa ada siapa-siapa.
"Serius banget, ngapain, sih?"
Alaska lantas mendongak mendengar suara itu, melihat Jinan yang mendekat seraya tersenyum lebar. "Ngapain ke sini?"
"Emang nggak boleh?"
"Ya boleh. Masih bantuin Bu Dewi?"
Jinan menggeleng, dia merogoh saku dan menyodorkan sekotak susu. "Mau anterin ini."
Alaska menatap sekotak susu itu seraya menerima. Sebelum akhirnya mendengus. "Nemu dimana susu bonetto?"
"Keliling lah, gue puterin minimarket depan tadi." Jinan senang kalau Alaska langsung meminumnya seperti sekarang. "Gue balik ya kalo gitu."
![](https://img.wattpad.com/cover/207812913-288-k360840.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Dla nastolatkówHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...