28

53 3 0
                                    


..

Rasa haus membayangi tenggorokannya ketika berusaha untuk tidur di siang hari namun gagal. Jinan beranjak dari kasur untuk menuju ke dapur. Dia lupa kalau belum mineral seharian ini, hal yang paling tidak dia sukai.

Langkahnya sedikit melambat saat melewati tangga, matanya menelisik pada ibunya yang berkutat entah apa di dapur. Jinan berpura-pura untuk tidak tahu saja, sementara dirinya mulai menuju dispenser mengambil air putih dan menenggaknya.

Jinan melirik ke arah Deline sebentar. Ibunya terlihat seperti memasak. "Mama masak apa?" tanyanya basa-basi.

"Sayur," jawab Deline singkat meliriknya sebentar.

Tapi rasanya Jinan tidak terlalu yakin. Gadis itu mendekat dan sedikit terkejut saat Deline langsung berbalik padanya sambil memegang pisau. Otomatis Jinan memundurkan diri. "Mama kenapa, sih?!"

Deline langsung menghela napas kasar. "Kamu yang ngapain. Nggak usah ganggu kalo nggak penting."

"Mau Jinan bantu nggak?"

"Nggak perlu."

Jinan ingin membantah tapi tatapan maut Deline membuatnya undur diri. Lebih sayang nyawa kalau-kalau Deline langsung melayangkan pisau mengingat sifat temperamennya yang tidak masuk akal.

Gadis itu menjauh meninggalkan dapur, tapi sebelum itu matanya menangkap pemandangan asing di sebelah toples. Sebuah botol putih berukuran sedang yang tidak ada merk apapun di sana. Sepengetahuannya, obat itu termasuk golongan metamfetamin, salah satu obat susah tidur yang kadang diminum Deline. Tapi jika dipergunakan dalam dosis besar dan dalam jangka panjang, dapat menyebabkan kerusakan saraf dan stroke.

Sebelum dirinya sampai di tangga, langkah Jinan terhenti ketika mendengar Deline sedang menerima panggilan.

"Ya, nanti kamu ke sini 'kan?" Suara Deline terdengar lembut. "Aku ... kayaknya ada titipan untuk istri kamu. Hm, salad? Katanya istri kamu suka sayur-sayuran, kan? Iya, bukan tiba-tiba juga, sih. Aku buat salad kebetulan aku lagi pengen." Tawa kecil terdengar halus. "Sepertinya malam ini akan bagus. Mau dinner bareng, hm?

Perasaan Jinan tiba-tiba saja entah mengapa tidak enak. Dia ingin bermasa bodoh, tapi ... apakah itu Barata?

Dengan segera ia membalikkan badan, menunggu sampai Deline menyelesaikan panggilan.

"Itu salad untuk siapa, Ma?" Jinan mendekat hati-hati meski suaranya terdengar waspada.

Gerakan Deline spontan berhenti memotong timun. "Memangnya kenapa?"

"Mama nggak akan nyelakain siapa-siapa, kan?"

Tawa sarkas muncul dari bibir Deline. Wanita itu membanting pelan pisaunya lalu berbalik badan, menatap anak semata wayangnya. "Siapa yang kamu maksud? Kenapa kamu bisa-bisanya fitnah saya begitu?"

Jinan diam-diam meneguk ludah. Matanya berpindai pada sebotol obat tepat di samping Deline. "Kalo gitu ... itu obat untuk apa?"

"Kamu tau sendiri udah bertahun-tahun Mama mengonsumsi obat itu," cetusnya. "Kenapa baru tanya sekarang?"

Kali ini Jinan benar-benar menatap Deline. "Bukan ... untuk ngeracunin istri Barata 'kan, Ma?" Sedetik kemudian rasanya Jinan hampir menyesal mencetuskan pertanyaan itu karena segera saja, mata Deline langsung menatapnya bengis.

"Kamu menguping pembicaraan Mama.." desis Deline.

Jinan memajukan diri. "Berarti memang iya?" tanyanya. "Kenapa Mama mau ngelakuin hal setega itu, sih, Ma? Dia nggak salah apa-apa."

"Diam."

Jinan tidak berhenti. "Yang Mama lakuin sama Barata adalah kesalahan besar. Tapi kenapa yang nanggung harus seorang istri yang nggak bersalah apa-apa? Mama udah jadi selingkuhan orang yang udah jelas-jelas punya istri dan anak—

.niskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang