Alaska tidak pernah datang lagi setelah itu.
Semua panggilan, chat, atau sosmed Alaska pun tidak aktif. Lelaki itu seperti sengaja tidak membalas atau mengangkat teleponnya. Jinan cemas sekali, setiap hari bahkan hanya ada go-food yang mengantarkan makanannya. Padahal Jinan sebenarnya bisa memasak sendiri dan lebih dari cukup. Cowok itu bahkan tidak pernah ia temui di sekolah sudah dua hari ini.
Jinan mendengus sebal ketika lagi-lagi yang datang menjemputnya ke sekolah adalah supir Alaska. Gadis itu masuk dengan dibantu Pak Edy—sang supir.
"Alaska ke mana ya, pak?" tanya Jinan ketika mobil sudah keluar dari area apartemen.
"Di rumah, Neng. Emangnya nggak pernah teleponan, Neng?" tanya Pak Edy.
Jinan menggeleng. "Di rumah, pak? Terus... kenapa yang jemput saya bukan dia ya, pak? Biasanya kita berangkat sekolah bareng."
"Nahhh ... si Den Alaska emang lagi sibuk katanya makanya minta saya yang jemput." Pak Edy menjawab dengan logat sundanya. "Coba telepon atau chat, Neng. Emangnya lagi marahan yah ama Den Alaska?"
Jinan meringis seraya menggeleng pelan. Tidak mungkin juga tiba-tiba mereka bertengkar karena terakhir mereka bertemu, cowok itu menenangkan Jinan. Namun ketika ia bangun, Alaska sudah tidak ada di sana.
Yang membuat wajah Jinan bersemu adalah Alaska meninggalkannya di kamar dengan keadaan sepatu dan kaos kaki yang sudah dibuka, bahkan menyelimutinya. Alaska juga menyempatkan memasak ramen kesukaan Jinan. Tapi setelahnya, cowok itu menghilang seperti ditelan bumi.
Apakah Alaska sengaja menghindari darinya? Tapi kenapa? Apa Jinan ada salah bersikap?
Atau... Alaska sudah lelah dengan dirinya?
Jantung Jinan berdegup kencang.
To : Cacing Galak Alaska
Al
Lo dimana?
Lo oke kan?
Marah sama gue ya?
Sorry klo gue ada salahTidak satu pun chat dari Jinan sudah dibaca oleh Alaska, seperti sengaja dihapus karena tidak ada perubahan warna biru pada centang dua. Jinan melengos dengan menaruh ponsel di pangkuannya.
Kelas berlanjut seperti biasanya entah mengerjakan tugas, atau ulangan harian. Tapi pikirannya tetap tidak bisa lepas dari Alaska. Gadis itu juga heran kalau belakangan ini, ia tidak melihat Aldo dan teman-temannya bahkan ketika kemarin Jinan ke gudang belakang bersama Neli dan Fera untuk mengembalikan globe.
Setelah jam pulang sekolah, Jinan sengaja menunggu di halte dekat sekolahnya. Gadis itu berbohong kepada supir Alaska kalau dia akan pulang bersama temannya, padahal Jinan akan menunggu di sini. Menunggu Alaska akan lewat.
Dua jam terlewati juga tidak ada tanda-tanda kemunculan Alaska lewat, bahkan sekolah hampir sepi menyisakan anak-anak ekskul. Mungkin Alaska juga masih di ruangan desain.
Jinan tidak sadar kalau wajahnya sudah memerah karena hantaman sinar matahari langsung di wajah, tapi ia tetap tidak peduli. Kalau Alaska marah, lebih baik selesaikan sekarang. Dia perlu penjelasan Alaska ketimbang harus menghindar terus-terusan.
Tiga jam sudah terlewat. Jinan menghela napas, masih optimis kalau ada Alaska akan lewat meski dia jadi cukup ragu. Kalau Alaska memang tidak ada, mungkin sebaiknya Jinan pergi saja.
"Jinan?"
Gadis itu menoleh pada sumber suara. Lalu mengangkat alis melihat dua cowok menyapanya bingung. "Eh, hai?"
Cowok itu, Zidan. "Lah, ngapain lo di sini? Nungguin bis apa gimana?"
Jinan tersenyum tipis. Dia jadi teringat sesuatu. "Liat Alaska, nggak? Apa dia masih di sekolah?"

KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Teen FictionHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...