Hujan berhenti membasahi bumi sejak 15 menit yang lalu. Hanya meninggalkan sisa-sisa petrichor dari sudut-sudut lapangan dan genangan kecil yang ditendang malas oleh gadis bersepatu putih.
Sedikit tolol, memang.
Tapi begitulah Jinan dan pikirannya yang kusut. Seperti semuanya hanya ia lampiskan pada air coklat tanpa takut akan ekskul Desain Grafis yang sudah mulai di lantai tiga. Tarikan napasnya perlahan memberat seiring ia menyeret kakinya meninggalkan lapangan menuju belakang sekolah.
"JINANNN!!!!"
Langkah Jinan tertahan dengan geraman kecil keluar dari bibirnya. Teriakan ini...
Jinan menghela napas pelan, sadar pasti ketua desain grafis ini sedang menunggunya di belakang sana. Perlahan tapi berat ia membalikkan badan, memandang sang ketua yang sudah berdiri di depannya dengan tangan terlipat di dada.
"Mau ke mana?"
Senyum Jinan terurai—dengan terpaksa. Kakinya mendekat dengan langkah kecil. "Kantin bentar. Napa, sih?"
"Yakin? Bukan mau bolos?"
Hhhhh... Cowok bernama Alaska ini memang paling bawel dan cerewet seantero raya. Jinan paling sebal dengannya tapi tetap takut nomor 1.
"Sini lo."
Jinan berdecak kencang, tanpa repot-repot menghilangkan wajah merengutnya, bahkan ketika sampai di depan Alaska. Cowok yang lebih tinggi tujuh centi darinya itu mulai siap-siap memasang wajah ala tukang tagih.
"Mana tugas lo?"
"Hah?" Kemudian disusul dengan pekikan ketika Alaska menepuk keningnya dengan gulungan kertas. "Aw! Sakit anjrit!"
"Nggak usah hiperbola." Alaska lalu menagih tugasnya dengan wajah paling cuek dan songong yang rasanya ingin Jinan cabik wajahnya. "Gue tau muka lo muka-muka nggak pernah nyentuh tugas. Desain yang ditugasin sama Bang Ernan udah dikerjain belom? Pasti belom."
Anjrit.
Jika ada satu cowok paling sengak maka jawabannya adalah Alaska. Cerewet. Cocok dengan tahi lalat kecil yang tersampir di atas bibir kanan cowok itu.
"IYA! Emang bel—woy kenapa sih lo?!"
Jinan merengut sebal ketika kertas itu kembali mendarat di keningnya yang dibalas Alaska dengan tampang dosa. "Jangan jadi beban deh lo, cepetan kerjain. Cuma lo doang nih yang berat-beratin tugas gue sebagai ketua."
"Hm."
"Paham, nggak?"
"Iyaaaa cowok cerewet..."
"Yaudah tunggu apa lagi?"
Jinan memasang wajah bingung. "Apanya?"
Alaska otomatis mengetuk arloji di tangan kanannya. "Lo udah telat 15 menit. Mau gue tendang lo dari ekskul desain?"
"What?!" Jinan melotot lebar. "Kan lo yang ceramahin gu—
"10...9..."
Lalu kemudian Jinan menghentakkan kesal kakinya dan berlari meninggalkan Alaska yang memasang tampang paling datar.
Menuju kelas desainnya.
...
3 jam yang lalu...
"Ji, nanti ke mana abis pulang?"
Jinan berpikir sebentar. Kelas kala itu mulai sepi karena Pak Don—guru Ekonomi dan Keuangan, sudah masuk dan mulai memberi soal. Kalau ada satu guru yang disebut paling santuy tapi pelit nilai, maka Pak Don-lah orangnya.
"Nggak tau. Paling—
"Belakang sekolah?" tebak Neli. 'Napa sih lo ke situ mulu? " perlahan mata Neli mulai menyelidik. "Hm... pasti lo mau kabur dari si Karel, kan? Ngaku!"
"Hh-hah? M-mana ada, ngaco lo."
Neli yang mudah menebak perasaan temannya itu menghela napas lelah. "Yaelah, Jinan... Jinan... jangan bilang itu jadi alasan lo mau bolos ekskul lagi. Gue udah tau ni alurnya."
Jinan berdecak kecil. Memandangi sederet soal yang ditulis berantakkan olehnya, kemudian menggigit ujung pulpen dengan gelisah.
Karel...
Karel Abimayu.
Adalah orang yang ia coba hindari belakangan ini. Setelah peristiwa malam itu di tengah lapangan sekolah setelah acara ulang tahun sekolah, hal yang belum Jinan terima sampai sekarang.
Jinan termenung diam.
Sampai ia memutuskan untuk mencoba membolos di belakang sekolah menunggu sekolah sepi—seperti kebiasaannya sebelumnya. Kalau biasanya adalah untuk menghindari pelajaran terakhir yang amat membosankan, tapi sekarang bertambah.
Untuk menghindari Karel.
"Gue tau sih, masih berat buat lo. Tapi kalau gitu terus, lama-lama stres sendiri, uring-uringan mulu." Neli berucap pelan, seolah takut Pak Don akan memergoki mereka berdua dan menyuruh mereka bercerita di depan kelas. "Gimana pun juga, ruang ekskul lo nggak akan pindah. Bakal tetep sebelahan sama ruang futsal Karel."
SMA Gelora Bangsa memiliki lima gedung yang berdiri kokoh dan lumayan megah. Gedung pertama adalah bangunan besar yang mencakup auditorium dan direktorat. Gedung kedua persis di belakang direktorat yang merupakan gedung ekskul, sekretariat, ruang OSIS, dan gymnasium di lantai 1. Gedung sisanya adalah IPA, IPS, dan Bahasa.
Logikanya adalah jika Jinan langsung pulang, otomatis ia akan melewati setiap dua gedung di depan dahulu dan akan langsung berhadapan langsung dengan Alaska yang tidak pernah absen patroli. Bonusnya, ia akan bertemu Karel, lagi.
Tidak.
Karena bertemu Karel yang selalu berada tepat di sebelah ruang ekskulnya adalah hal terakhir yang ia inginkan. Kenyataan memang begitu pahit tapi Jinan enggan menelannya.
"Ck. Nanti aja deh. Gue cuma mau bolos ekskul karena belom ngerjain tugas desain doang," bantah Jinan. "Si Alaska suka patroli makanya gue males. Jadi yaa... nunggu sekolah sepi."
Neli melihatnya dengan senyuman tak yakin dan menggeleng. Dia tahu benar bahwa Jinan memang menghindari Karel.
..

KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Novela JuvenilHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...