Ocean club.
Jinan sempat searching tempat kelab malam sekaligus bar itu. Ternyata nama itu tersebar luas bukan hanya sebagai kelab malam, tapi juga restoran dan hotel ternama di Jakarta dan Surabaya. Bahkan baru-baru ini sedang terbuka di Bali. Ckckck, dia menggeleng kagum melihat beberapa list harga masuk di sana. Otaknya pikir, dari mana dia memulai untuk mencari si ayah jika hanya berbekal seperti ini, kan? Bukan hal yang mudah.
Dan lagi, Jinan tidak tahu apakah sang ayah mau ditemui atau tidak. Terlalu banyak sekali ketidakpastian di dalam rencananya.
"Etdahh, serius amat. Liatin apaan, sih?"
Jinan nyaris menjatuhkan ponselnya ketika Neli datang-datang mengejutinya seraya membawakan dua mangkuk mie ayam—lagi-lagi. Membuat helaan napas lelah keluar daruli mulut Jinan. "Nel, gue nanya serius. Lo nggak gumoh apa tiap hari makan ini? Gue ngerti lo cinta mie ayam, tapi kek—" Bahkan Jinan tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Senyumam lembut yang dibuat-buat serta mata berbinar menyambut Jinan. Kepala Neli menggeleng pelan. "Tidak bisa, Jinan. Separuh hidup gue, separuh napas gue ada di mie ayam. Kalo nggak ada mie ayam, gue harus napas manual!" ujarnya dramatis membuat Jinan mengernyit aneh.
"Awas aja asem lambung lo naik makan mie terus."
"Asam lambung nggak pa-pa yang penting jangan napas manual," balas Neli seraya menaik-naikan alis. Menyeruput mie dan cincangan ayam dibalut bumbu sedap, lalu mengunyah dengan hikmat. Rasanya ingin Jinan lempar saja.
Kunyahan Jinan melambat ketika sesuatu menghampiri otaknya. Menatap Neli yang masih hikmat menikmati mie ayam, gadis itu ragu apakah harus bertanya atau tidak. "Nel."
"Hah?"
Jinan menyeruput es jeruk sebentar. Sebelum itu, dia menggaruk pelipis untuk menyiapkan pertanyaan. "Sebenernya Alaska ke mana, ya? Maksudnya dia lomba terus dah."
Seraya mengunyah, Neli malah mengernyitkan dahi dengan aneh. "Emang lo nggak dikasih tau? Gue tau dari anak desain, sih. Si Jesse, temen gue di OSIS juga. Mereka kan ke Bandung sama Jakpus lagi. Seleksi sebelum pameran internasional ke Amerika."
Mata Jinan membulat. "Amerika?"
Neli mengangguk dengan kepedasan. Bibirnya bahkan sudah bengkak. "Jadi.. mereka ini lagi bolak-balik lomba—eh nyiapin lomba sama lomba juga sih. Kompetisi gitu. Ntar ke Amerika... apa ke Seoul, ya? Kok gue lupa dah. Jangan dua-duanya lagi."
Jinan mendengus. "Ish, nggak jelas ahk."
Neli terkekeh. "Gue kalo kepedesan jadi amnesia ege." Diteguknya sebotol air minum. Tapi tetap kepedasan, jadi dia meminta minum Jinan. "Minta, yak."
Jinan berpikir serius. Huft, Alaska tidak pernah cerita apa-apa pada dirinya. Pantas saja Alaska jadi sakit dan kelelahan juga belakangan ini. Tapi sulitnya, cowok itu tidak mau membagi cerita.
"Napa, sih? Nanyanya jadi ke gue. Emang kalian marahan ya?"
Kepala Jinan menggeleng halus. "Nggak, sih. Cuma dia emang ... nggak ada cerita. Jangankan cerita, ketemu aja udah jarang. Dia nggak pernah mampir lagi ke apart." Jinan tidak menyadari jika dia tidak sengaja memasang wajah murung. Menatap sedih pada pepohonon sekitar. "Gue sedih kalo dia nggak bilang apa-apa."
Neli memperhatikan itu. Lama-lama, senyuman terpatri di sana. "Lo sayang banget sama Alaska ya, Nan?"
Jinan mengerjap. Menatap Neli yang sudah memasang wajah menggoda. "Ck, apaan, sih..."
"Khawatir banget. Jujur aja kali, Nan. Gue juga udah tau dari lama."
"APANYA?"
"Kalo lo demen sama Alaska, lah. Gue nunggu lo jujur, etdah. Denial terosss makanya, engap sendiri kan." Neli menunjuknya dengan garpu. "Lo kangen ya ama dia?"

KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Teen FictionHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...