53

57 2 0
                                    

Rindang pepohonan dekat sekolah menambah angin sejuk di sana. Di bawah pohon besar, ada tiga meja makan dan satu gerobak bakso yang menjadi tempat persinggahan Alaska dan Jinan setelah pulang sekolah. Tiba-tiba saja cewek itu ingin berhenti dan makan bakso di sana.

"Hm, enak!" seru Jinan setelah menyeruput kuah baksonya. Sementara Alaska memakan santai seraya memandangi sekitar. Tidak ada pelanggan lain selain mereka yang duduk di meja lain.

"Pelan-pelan makannya, nanti keselek." Alaska menegur pelan ketika Jinan terlalu excited.

Jinan balas menyengir seraya menghalau rambut dari sisi wajah yang menghalangi. Melihat itu, Alaska selalu gerah sendiri. Cowok itu berdiri di belakang Jinan, lalu mengumpulkan rambutnya dalam satu genggaman untuk diikat.

Untungnya Alaska selalu membawa ikat rambut cadangan untuk Jinan dalam tasnya belakangan ini. Kadang-kadang gadis itu suka ngeyel dan malas mengikat rambut.

"Kenapa nggak pernah bawa iket rambut, sih? Kan udah gue beliin waktu itu."

Jinan tersentak dengan perlakuan tiba-tiba dari Alaska. Pasalnya, ia terkejut dengan jemari Alaska yang menyentuh kepala, kulit jemari yang tidak sengaja menyentuh kulit lehernya. Ia jadi bergerak kikuk dengan jantung berdebar tak karuan. "Gue lupa bawa..." Tangannya meraba ikat rambut di kepalanya. "Dapet iket rambut dari mana?"

"Gue selalu bawa cadangan buat lo di tas."

Jinan tertegun dalam diamnya. Tak pelak wajahnya semakin memerah dengan degupan jantung yang berdebar. "Se-serius?"

Alaska kembali duduk di tempatnya. Memandangi leher Jinan. "Iya," jawabnya. "Bekasnya udah lumayan hilang. Iket aja, Ji, biar rapi. Nanti gue pakein foundation daripada repot terus panas juga."

Jinan meringis kecil. "Masih nggak PD kalo rambutnya diiket. Gue nggak biasa, Al.."

"Harus dibiasain. Diiketnya juga nggak setiap saat." Tangan cowok itu kemudian terulur membersihkan daun kering yang jatuh di kepala Jinan, mengusapnya pelan untuk membersihkan dari serpihan kering di sana. Alaska juga selalu menyadari jika rambut Jinan sudah tipis, tapi lebih membaik semenjak ia sering merawat rambut gadis itu.

Alaska mungkin tidak menyadari jika wajah Jinan sudah begitu ranum. Bukan karena pedasnya kuah bakso dan panasnya matahari, tapi karena sentuhan yang Alaska berikan.

"Sekarang rambutnya udah lumayan tebel. Nanti jadwalnya kita maskeran rambut, nggak boleh males-malesan." Alaska menarik kembali tangannya seperti semula, tapi Jinan tidak bisa.

"Hu-um... " Jinan bahkan tidak sanggup menjawab.

"Good."

Jinan melipat bibir menahan senyum. Dia benar-benar menyukai sentuhan samar cowok itu.

"Al."

"Hm."

"Nanti gue boleh ke rumah sebentar? Mau ambil sesuatu."

Alaska lantas mengangkat wajah. "Apa yang mau diambil?"

"Anu... catetan gue ternyata ada yang ketinggalan."

"Gue buatin ulang."

Mata Jinan membulat. "Ih, jangaaan! Banyak tau. Terus juga susah. Sekalian ambil buku paket yang ketinggalan, waktu itu gue pinjem di perpus."

"Sesusah apa emangnya? Buku paketnya juga gue beliin baru aja."

"Al..." Bahu Jinan melemas. "Emang kenapa coba nggak ngambil ajaaa? Lo capek ya bolak-balik anterin gue?"

"Bukan gitu." Alaska menurunkan sendok dan garpunya pada mangkuk yang sudah kosong. "Lo nggak tau kan mama lo udah balik apa belum? Kalo terjadi sesuatu, gue nggak mau."

.niskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang