58

47 0 0
                                    

Aldo masih mengejar dengan makian-makiannya, masih dengan tongkat besi bisbol di tangan beserta kedua temannya itu.

Langsung menuju parkiran adalah hal yang krusial karena mereka pasti akan mudah menangkap Jinan dan Alaska, juga ada kesempatan mereka akan menguntit. Itu akan menjadi bahaya bagi Jinan. Setidaknya itulah pikiran Alaska. Makanya, mereka berlari melewati setiap lorong kelas yang luas, melewati gedung utama, gedung IPA, Bahasa, lalu IPS. Sejauh itu dan Aldo masih terus mengejar. Alaska memilih jalan paling sempit untuk mengibuli mereka, berputar melalui belakang kelas, dan masuk ke dalam ruang sempit nan gelap. Teriakan itu teredam di sana. Alaska segera masuk dan mengunci dari dalam. Begitu gelap tanpa ada penerangan apapun kecuali semburat cahaya dari bulan yang tipis-tipis.

Rasanya, Jinan bisa mendengar suara detak jantung mereka ketika Alaska menyembunyikan Jinan dalam pelukannya dan bersender pada pintu. Aroma darah dari tubuhnya bercampur dengan aroma maskulin dari parfum Alaska. Deru napas berulang dengan terburu. Alaska masih mengintip melalui celah jendela, memastikan Aldo dan yang lain tidak akan menemukan mereka.

Benar-benar Aldo berniat membunuh mereka berdua.

"A-aww..." ringis Jinan. Alaska langsung tersadar, lantas memegangi lengan Jinan.

"Mana yang sakit?"

"Tangan gue..."

Alaska menunduk, baru menyadari jika ia terlalu menggenggam di jemari Jinan yang memar. "Maaf." Diusapnya jemari itu. Alaska memundurkan tubuh Jinan untuk dilihatnya. Ada banyak goresan karena gesekan di lapangan yang berakibat pendarahan, memar, sisi kepalanya yang berdarah, lalu luka di wajah.

Dan Jinan tidak bisa menangkap kemarahan di mata Alaska.

"Mereka masih mengejar, Al?" tanya Jinan pelan.

Alaska mengangguk. "Mereka masih nyari. Sementara kita di sini dulu."

Jinan mengangguk. Alaska masih memperhatikan tiap jengkal tubuh Jinan yang terekspos sebagian. Banyak luka dan darah kering. Dia yakin lebam dan memar akan terlihat jika di bawah penerangan. Tangan Alaska terulur mengusap lehernya, rasanya dingin menyergap.

Jinan masih bertanya-tanya mengapa Alaska ke sini, tapi dia lebih memilih fokus pada kesalahtingkahnya saat Alaska mengusap kulitnya. Membersihkan dari butiran pasir yang menempel, lalu memajukan diri meniup leher Jinan. Menyibaknya ke atas lalu meniupnya lagi demi mengusir pasir. Rasanya tubuh Jinan berdesir hebat, tanpa sadar meremas baju depan Alaska. Dengan jarak sedekat ini, tentu pikiran Jinan ikut liar memikirkan apa saja hal yang bisa mereka lakukan di sini.

Alaska menunduk, menyadari kaki Jinan yang saling menyilang bergerak gelisah. Cowok itu menarik Jinan duduk, melebarkan kaki dan membiarkan gadis itu ada di antara kakinya untuk menyandarkan gadis itu di dada. "Pusing, ya?"

Jinan mengangguk, memeluk perut Alaska. "Pusing, Al."

"Istirahat dulu kalo gitu. Nanti kita ke dokter."

"Gamau..." Jinan menggeleng. "Mau diobatin sama lo aja."

"Harus ke dokter biar tau ada infeksi atau nggak, Ji."

"Tetep nggak mau..." rengek Jinan. Alaska membiarkan dan mengalah. Tapi tangannya tidak berhenti mengusap kepala Jinan—hal yang anehnya membuat rasa pusing perlahan menghilang. Oke, ini lebay, tapi kenyataan!

Kini posisi mereka begitu dekat sekali, di dalam gelap dan sempitnya ruangan, juga di bawah pengejaran Aldo bersama temannya. Tapi anehnya meski dia luka habis-habisan, Jinan tetap merasa senang. Senang karena lagi-lagi Alaska selalu ada.

"Kenapa bisa tiba-tiba ke sini, Al?" Jinan bertanya tiba-tiba.

"Gue liat chat di hape lo masih kebuka." Alaska menjawab. Ketika dia sampai di apartemen, ia mencari Jinan di setiap penjuru lalu menelpon nomornya. Anehnya, panggilan itu berdering dari arah ruangan lukis. Alaska membuka dan langsung membaca chat Aldo. Tanpa babibu, dirinya langsung menancap gas ke sini. "Gue mau marah sama lo. Tapi marahnya nanti aja kalo kita pulang."

.niskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang