10.

84 17 4
                                    

Dentingan garpu dan sendok yang beberapa detik sekali berbunyi mengisi suasana yang kali itu terasa sepi. Ada tiga orang yang duduk di sana dengan gestur yang berbeda. Sekilas mata yang melihat akan tampak seperti keluarga sempurna, penuh wibawa, dan kharismatik.

Luas meja makan di sana terhidang berbagai makanan lezat. Tapi jika dilihat lebih dalam lagi, tidak ada yang benar-bensr menikmati makan malam ini.

"Sebentar lagi akan diadakan peresmian perusahaan baru saya." Sang kepala keluarga membuka percakapan pertama kali. "Kamu harus datang."

Karel tahu pernyataan itu ditujukan untuk siapa selain dirinya. Dia tahu mama meliriknya untuk menyetujui papa, tapi Karel menolak halus. "Maaf. Tapi sebentar lagi aku bakal ke Bandung untuk pertandingan."

Papa—yang dikenal oleh orang se-Indonesia dengan nama Barata Dinata. Pengusaha besar yang digadangkan sebagai pengusaha sukses dengan integritas tinggi di mata masyarakat luas, pengusaha handal, bahkan para pejabat. Sebagai Barata Dinata.

Barata mengulas senyum tipis mendengarnya. Senyum yang kelewat lemah lembut tapi berbanding terbalik dengan kata-katanya."Tidak ada yang lebih penting dari itu, Karel. Jangan bantah perintah saya."

Mama otomatis menoleh sepenuhnya pada Karel. Mengisyaratkan Karel yang hampir saja menyahut, untuk tetap diam dan menurut. "Karel, dengarkan papa kamu, ya."

Karel mengepalkan tangan di bawah meja memandangi makanannya dengan tak berselera. Matanya melirik pada Mama yang menawari suaminya apakah ingin nambah atau tidak. Atau kali ini yang menuangkan segelas air lagi untuk Papa. Kadang Karel tidak suka melihat itu.

Bagaimana Mamanya yang selalu bersikap selayaknya istri yang baik, padahal ditusuk sendiri oleh suaminya. Mamanya yang bahkan membela suaminya daripada Karel, namun justru tidak tahu apa-apa permainan Barata. Sekali itu Karel ingin melawan tapi melihat Mama yang tak berdaya, ia juga tidak sanggup.

Barangkali Papanya dikenal sebagai pengusaha terbaik di mata dunia. Sebagai Barata Dinata. Bukan sebagai suami yang baik.

Papa meninggalkan meja maka bersama Mama setelah pembantu membereskan semuanya. Tidak dengan Karel yang masih bertahan di sana. Sekelebat tentang Mamanya yang kala itu berbicara di mobil berdua dengannya terbayang.

"Mama seneng banget belakangan ini Papa nggak terlalu sibuk lagi, meskipun kadang tiba-tiba ada urusan mendadak. Tapi Mama bahagia banget waktu liat Papa makan masakan Mama." Tante Elvin tersenyum senang dengan mata yang berbinar menatap jalanan luar. Seolah apa yang ia katakan barusan adalah sebuah pencapaian seumur hidup. "Kamu sering ajak Papa ngobrol kalau dia ada di rumah. Jangan didiemin ya, Rel."

Karel kala itu hanya mengangguk tipis. Dia yang paling tahu bahwa Mama mencintai Papa. Sangat. Tidak peduli pada Papa yang seringkali mengabaikan Mama walau selanjutnya akan bersikap lembut pada Mama.

"Mama harap ..." Elvina menoleh pada Karel dengan senyuman lembut. "Tuhan sayang Mama biar Mama dikasih umur panjang. Terus bisa sama Papa terus."

Bagian ini yang paling Karel tidak suka. Mama mengatakannya seolah waktu akan berjalan dengan cepat.

"Ma.."

Barata mencintai Elvina barangkali mungkin hanya karena mereka sudah terlanjur sempurna. Sempurna di mata orang lain, di mata keluarga besar. Bukan dengan ketulusan yang seperti Elvina berikan untuk Barata. Lucu sekali. Lucu, bagaimana cinta yang diberikan hanya dibentuk karena formalitas.

Karel yang paling tau semuanya. Tapi ia lebih memilih diam. Bukan karena takut. Baginya, lebih baik diusir atau dipukuli sampai babak belur dengan orang-orang suruhan Papanya ketimbang melihat Elvina menangis karena mengetahui semuanya.

.niskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang