22

58 5 0
                                    

Langkahnya berhenti di kamar bertuliskan VVIP. Ada beberapa suster dan seorang dokter sedang berbicara pada pasien di sana. Ia menghela napas, dengan hati-hati mendekat menuju mereka.

Aroma lavender yang ia rindukan belakangan menguar memasuki rongga hidung. Seutas senyum terpancar ketika tepat dirinya berdiri di samping brankar. Wanita itu tersenyum senang, masih dengan mata berbinar ketika dokter sudah selesai berbicara dan pamit undur diri setelah memberinya sedikit wejangan bahwa untuk selalu menjaga kesehatan.

"Karel, mamanya diingetin terus jangan sering kecapekan, ya. Jangan lambat makan terus."

Mama Karel otomatis menyahut. "Saya jaga kesehatan kok, dok. Emang lagi kambuh aja," katanya dengan wajah pura-pura cemberut.

Otomatis Karel tertawa kecil sembari mengusap rambut mamanya. "Siap, dokter."

Lalu setelahnya dokter Tyo yang merupakan rekan keluarga mereka dari sejak dahulu pamit bersama suster meninggalkan mereka berdua.

Mama langsung menatapnya senang. "Kamu datang juga. Mama udah nunggu dari dua jam yang lalu." Wanita itu memasang wajah pura-pura cemberut meski dengan senang hati menerima buket dengan bunga Lily ungu.

"Maaf ya, Ma, tadi Karel masih ada urusan di sekolah."

Karel mendekat ketika sang ibu merentangkan tangan untuk memeluknya dan memberinya kecupan ringan di dahi sang ibu. Sudah dua minggu ibu tidak pulang dan harus dirawat di rumah sakit. "Mama kangen banget sama kamu."

Karel tersenyum menenangkan. "Nanti Mama mau mampir makan dulu?"

Wanita itu mengangguk seraya mengusap rambut putranya. Barang-barang telah dikemas oleh asisten dan mereka beranjak meninggalkan rumah sakit. Sementara sang Mama masih bercerita panjang lebar mengenai operasinya dan kerinduannya terhadap makanan esktra pedas dan minyak, Karel menanggapi seadanya meski dengan pikiran yang mengambang.

Ya, memang begitulah. Terkadang mamanya bisa menjadi sangat bawel dan keras kepala. Meskipun keluarga mereka memang selalu dibiasakan hidup sehat, tapi kecerobohan wanita cantik itu membuat tekanannya kembali naik dan berimbas pada pencernaannya. Belum lagi stres yang sengaja dipendam.

"Tadi mama hubungin Papa, kayaknya masih sibuk. Cuma teleponan sebentar aja." Wanita itu tersenyum kecil. "Mama mau kasih surprise kalo Papa udah pulang dari Halifax."

Helaan napas lelah samar keluar dari Karel.

"Kamu sama Papa gimana? Udah mulai belajar 'kan di perusahaan Papa?" Elvina menoleh untuk memastikan putranya.

Karel tidak langsung menjawab. Sebenarnya ada beberapa konflik yang terjadi di antara mereka berdua—Karel dan Barata, Papanya. Dia memang berusaha untuk mengikuti kemauan Barata tapi rasanya tidak langsung semudah itu.

Barata memintanya untuk ikut hadir di acara pertemuan bisnisnya tapi Karel menolak—benar-benar menolak karena bersanding dengan hari pertandingan. Mereka terlibat pertengkaran saat Elvina tidak ada. Karel pikir, mungkin Papanya akan mengancamnya dengan segala memblokir akses kartu kredit, transportasi, atau hal lainnya yang sudah ia siapkan konsekuensinya.

Namun bukan itu yang Barata lakukan. Ketimbang merebut segala akses dan keperluan Karel—toh, Karel pribadi mempunyai kartu sendiri dari setiap hasil pertandingan, Barata lebih memilih cara keji dan di luar dugaannya. Beberapa orang dikirimkannya untuk mengikuti Karel dan tiba malam mencegat mobil cowok itu untuk dihabisi. Tenaga Karel memang cukup dan ia pandai bela diri, tapi melawan tubuh orang dewasa yang kekar dengan jumlah lebih dari tiga orang juga membuatnya kewalahan.

Tubuhnya tidak banyak luka, tapi yang paling parah adalah tangannya cedera entah karena dibanting beberapa kali atau tendangan yang bertubi. Ya, begitulah Barata yang selalu tidak pernah ingin mengotori tangannya sendiri. Tidak banyak yang tahu sekejam apa pria berdarah dingin itu. Mungkin kebenarannya belum terungkap siapa dan motif apa sebenarnya orang-orang itu memukulinya, tapi segalanya terasa masuk akal. Tidak perlu ia tebak dan menerka.

.niskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang