Hujan turun dengan deras meski siang tadi sangat panas. Mungkin air menguap, membentuk awan, lalu jatuh serupa air-air kecil yang menabrak bumi. Seakan mengiring kepedihan satu manusia yang nyaris mati, atau mungkin akan mati.
Di dunia ini, Alaska tidak pernah—mungkin belum saatnya, melihat kejadian mengerikan di sepanjang hidup. Darah membanjiri lantai, nadi melemah, suara ringkih, sampai detik-detik jantung berhenti. Alaska sama sekali belum pernah membayangkan jika suatu hari, dia akan berlumur darah tapi bukan dirinya yang terluka. Tarikan napasnya berat, masih dengan baju putih berlumur darah segar, juga leher yang sudah diberi plester oleh perawat. Dia hanya diam, duduk di bangku panjang menghadap luar kaca besar rumah sakit.
Dua jam yang lalu, Jinan sudah dibawa ke Unit Gawat Darurat. Mungkin sudah dibawa lagi entah ke ruang operasi atau ke mana. Alaska tidak tahu. Yang dia lakukan hanya diam menatap tirai hujan. Masih mengingat bagaimana Jinan ada di antara hidup dan mati. Yang mana saja, Alaska tahu hanya kedua pilihan itu nasib Jinan.
Pintu dibuka. Ada mama di sana, masih dengan jas steril namun handscoon sudah dibuka. Menurunkan masker untuk menarik napas, lalu pergi ke ruang ganti. Tak lama kemudian kembali. Alaska mengenali gesturnya yang tenang seperti laut biru. Hanna tidak terlalu banyak bicara seperti Papa yang memiliki selera humor receh. Mungkin yang paling mendominasi dari karakter Alaska adalah dari gen ibunya.
"Ternyata tadi teman kamu." Hanna membuka suara. Kulkas dibuka dan meraih sebotol mojito.
Alaska memperhatikan bagaimana Hanna menuang dalam satu gelas berukuran sedang. Menggeleng ketika ibunya memberi kode menawarkan. "Dia gimana kondisinya?"
Hanna meneguk sebentar minumannya. "Pendarahannya parah sekali. Tulang kakinya ada yang retak. Nyaris saraf di tubuhnya nggak berfungsi. " Ia mengedik bahu. "Kalau operasi lancar, cuma keajaiban Tuhan dia masih bisa sembuh."
Tanpa sadar tangan Alaska mengepal. Meski di luar ia berusaha tenang karena yang sedang ia hadapi adalah ibunya sendiri—yang kebetulan adalah dokter yang baru saja menangani Jinan, tetap saja dia tidak bisa menahan emosi mendengar kalimat terakhir Hanna. "Terus, kapan dia bakal operasi, Ma?"
"Sebelum mama jawab, jawab dulu pertanyaan mama. Kenapa bisa kamu yang bawa dia ke sini?" Pertanyaan Hanna datang dengan tenang tapi tetap mendesak Alaska lewat tatapannya.
Alaska melipat bibir sejenak. "Itu nggak penting."
"Penting karena kamu terlibat, Alaska. Kamu yang membawa—padahal hal itu nggak boleh sama sekali. Hal pertama yang kamu harus lakukan adalah telepon ambulan dan memastikan nadi pasien. Hal fatal yang bisa terjadi adalah keparahan pasien kalau kamu membawa sembarangan seperti tadi. Kamu bahkan nggak tau kan kalau ada keretakan di mana?" tandas Hanna. "Dia korban penganiayaan. Kamu terlibat?"
Alaska menghela napas malas. "Nggak, aku cuma bantu dia."
"Kenapa momennya bisa pas?"
"Kebetulan aja kali. Kayak yang mama bilang tadi, keajaiban." Alaska menjawab asal.
Hanna pasrah. Alaska ini memang cuek dari dulu, tidak banyak bertele, tapi hal itu juga yang membuatnya bingung untuk membongkar pikiran anaknya sendiri. "Mama harap, ini kali terakhir kamu berhadapan dengan situasi begini. Bisa aja kamu terlibat sebagai tersangka, atau justru kamu ikut-ikutan diseret."
"Iya, tau."
"Dan kalau itu terjadi, bukan cuma keselamatan kamu yang jadi ancaman, Alaska. Reputasi keluarga kita juga akan terancam. Mama tau bukan saat yang tepat buat ngomong begini di situasi seperti ini, tapi mama cuma berbicara kenyataan."
"Tenang aja, ma. Nggak ada siapapun di sana." Alaska menatap lantai dalam diam. Pikirannya mengawang ke entah hal lain—mungkin pada apa yang mama bicarakan tadi soal hidup dan mati. Sebelum mama melayangkan pertanyaan yang semakin jauh, Alaska segera menyela. "Aku boleh minta satu hal?"

KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Teen FictionHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...