Bosan.
Alaska menghela napas panjang. Mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali ia makan siang setelah jam Matematika tadi. Dengan tangan kanan asik menyedot susu originalnya, ia mengetikkan balasan pada Hildan.
"Anjing!"
Jinan melotot kecil, antara kaget dengan umpatan Alaska atau karena pemuda itu yang tiba-tiba mengumpat tanpa sebab. Gadis itu baru saja datang ke kelas Alaska untuk mengembalikkan laptop yang dipinjamnya.
Dia melirik ponsel Alaska sedikit. "Kenapa?"
Alaska menoleh terkejut, masih dengan sedotan yang menempel di bibir sebelum akhirnya berdecak. "Lo ngapain tiba-tiba ke sini? Ganggu aja."
"Nggak usah songong. Lo sendiri yang manggil gue ke sini untuk balikin laptop lo."
Alaska membalas tatapan Jinan dengan alis terangkat sebelah. "Oh."
"Btw, kalo mau ngomong kasar liat-liat situasi. Untung Pak Lamri nggak denger waktu keluar kelas," ujar Jinan meletakkan MacBook milik Alaska dengan hati-hati. "Dan makasih udah minjemin. Gue tetep nggak ngerti."
Jinan berbalik badan. Dirinya sudah lapar dan haus karena dikejar laporan saat jam istirahat pertama tadi. Kini ia akan membeli beberapa chocochips, mungkin.
"Beneran nggak ngerti? Atau emang lo nggak mau?" Suara Alaska tiba-tiba menyambar. Terjeda untuk menunggu Jinan berhenti melangkah dan berbalik. "Kalo nggak ngerti kenapa nggak nanya?"
"Nah itu dia. Masalahnya gue nggak tau apa yang harus gue tanya sama lo."
Alaska menggeleng-geleng pelan. Di antara anggotanya di klub desain grafis, menghadapi Jinan memang harus berbeda. Pemuda itu berdiri menyampir jaket di pundaknya lalu menenteng macbook-nya kembali. "Lo emang buang-buang waktu gue aja," keluh Alaska. "Cepetan jalan."
"Hah?" cengo Jinan ketika Alaska berdiri di hadapannya.
"Ke perpus." Alaska berujar tenang. "Lo nggak usah pura-pura bego gitu."
Jinan mendengus kesal. Gadis itu berjalan duluan dengan Alaska yang menyusul di belakangnya. Berjalan bersisian, Alaska membawanya ke lantai dua menuju perpustakaan yang persis di tengah lorong. Suasana perpustakaan tidak ramai—kecuali jika ada beberapa murid yang numpang tidur.
"Ngapain sih ke sini, gue ngantuk," keluh Jinan dengan wajah merenggut. Mengikuti langkah Alaska menuju rak dekat jendela. "Lagian kan bisa nanti lanjut pas ekskul."
Mendengar itu, Alaska langsung mengangkat wajah dengan senyuman meledek sebelum mendudukkan dirinya di kursi. "Kata orang yang jarang ekskul," sindirnya. Jinan langsung mendelik kecil, mendudukkan dirinya di hadapan Alaska. "Udah lah. Lo jadi anggota nurut-nurut aja kali, cuma bentaran doang."
"CK, nyesel gue..."
"Nyesel lo telat." Alaska mulai menghidupkan macbook-nya, melirik Jinan sekilas. "Lagian selain di sini, lo nggak ada keahlian juga di tempat laen."
Selain pemaksa, mulut Alaska memang semenyebalkan itu—meski memang benar, sih. Tidak heran pemuda ini jomblo dan tidak ada yang mengidolainya selain kakak kelas cabe-cabean. Mana ada cewek yang tahan sama dia.
Meski begitu, Jinan tidak mengelak. Karena memang benar. Di saat yang lain menikmati masa SMA mereka, dia justru khawatir bagaimana cara menikmati ini.
"Serah deh." Jinan mendecak. Menopangkan kepalanya bosan. Matanya memindai Alaska yang kini memperhatikan desainnya kemarin.
"Hidup lo terlalu dark apa gimana dah warnanya abu-abu sama hitam doang. Ini iklan untuk promosi band sekolah kali, Jiii. Masalahnya band kita bukan band metal," cerocos Alaska. "Promosi itu mesti persuasif bukan cuma soal tema sama judul doang."
KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Teen FictionHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...