41

43 2 0
                                    

Ruang tamu itu dibuka keras. Jinan sesaat melirik sepatu di rak yang berarti mama pasti sudah pulang setelah entah dari mana beberapa hari ini. Langkahnya dipercepat menuju ruang tengah. Bau-bau alkohol, asap rokok, bercampur wangi parfum bertebaran dari sana. Jinan meneguk ludah melihat seberapa berantakan ruang tengah dengan seonggok perempuan yang sedang menenggak alkohol di sofa.

Jinan menendang salah satu botol kaca alkohol dekat kakinya ketika mendekat. Deline masih saja mengisap rokok dengan sesekali menyesap alkohol. Tatapan matanya terlihat kosong dan marah. Rambutnya berantakan. "Ma."

Deline hanya melirik sesaat lalu tak peduli.

"Ma," bentak Jinan. "Udah minumnya! Mau berapa alkohol lagi, sih, yang mau mama minum?"

"Bukan urusan kamu."

"Urusan aku kalo waktu mabok mama malah diem-diem fotoin aku waktu dilecehin Barata!" Jinan terengah. Matanya memerah. Dari kemarin dia menunggu Deline pulang untuk mengatakan ini langsung. "Mama kirim foto itu ke Karel, maksudnya apaan sih? Mama bahkan cuma diem waktu Barata lecehin aku!"

Deline terkekeh. "Makanya jangan jadi orang pembangkang. Mama udah bilang jangan pacaran atau berhubungan sama dia, dan kamu masih ngeyel."

Tangan Jinan mengepal dengan marah. Dia bukan lagi melihat sosok ibu sendiri, tapi memang monster paling jahat, keji, bengis. "Kenapa sih, Ma? Aku udah nggak pacaran lagi sama dia. Aku berusaha perbaikin hubungan dan minta maaf karena semuanya rusak akibat ulah mama sendiri!"

"Kenapa jadi salahin saya?" Deline menaruh botol alkoholnya. "Semua salah kamu sendiri! Sadar diri kamu nggak pantes buat anaknya."

"Karena mama keluarga Barata hancur. Ibu dia bahkan sakit-sakitan. Tapi—

"Tapi apa?" Deline mendekat, menuding wajah Jinan dengan rokok di telunjuk. "Jangan ngomong sembarangan. Salah istrinya yang nggak bisa memuaskan suaminya sendiri. Barata cuma cinta sama mama. Cuma mama yang bisa kasih apa yang Barata mau. Perempuan itu udah sakit-sakitan dan nggak berguna."

Jinan menggeleng pelan. "Mama emang nggak pernah punya malu sama sekali." Wajahnya terlempar ke kanan ketika tamparan Deline mendarat di pipi kiri dengan keras. Tapi Jinan tidak takut sama sekali.

"Kamu berani ngomong gitu sama saya? Kamu di sini satu-satunya orang nggak berguna. Emang harusnya dari dulu saya suruh bodyguard Barata buat perkosa kamu sampe mati!" Deline menarik rambut Jinan dan menjambak dalam satu genggaman. "Asal kamu tau kenapa saya pertahanin kamu hidup selama ini buat apa? Karena satu kali sentuhan Barata di badan kamu itu bernilai uang. Kamu nggak ada bedanya sama saya."

Kepala Jinan dilempar. Meninggalkan rasa panas dari kepala dan telinga, juga wajahnya yang memerah. Napas Jinan terengah. "Jangan bilang yang mama ceritain tentang papa kandung aku itu nggak bener. Karena di sini yang jahat itu mama!"

Satu tamparan mendarat lagi. Deline memaki keras bahkan kini menarik rambutnya dan menggesek wajah Jinan ke dinding. Kepalanya dihantam ke dinding tembok dengan marah.

"Jangan bawa-bawa laki-laki itu, sialan!" Deline menampar sampai aliran darah keluar dari hidung, menetesi seragam, dan jatuh di lantai.

Napas Jinan terdengar berat. Matanya sayu dan memar. "Pantes mama ditinggal sama papa." Jinan meneguk ludah. Terasa zat besi di lidah dan lehernya. "Atau mungkin kalian berdua sama aja."

Jinan meringis keras saat dirinya ditendang jauh hingga punggung menabrak lemari kaca. Ditariknya rambut Jinan mendekat. Punggungnya diinjak. Kemudian tubunnya dibalik, dadanya diinjak. Deline duduk di atas perut Jinan, lalu memukul wajahnya sejadi-jadinya.

Jinan meraung kesakitan. Rasanya seperti tulang retak di mana-mana,kulit kepalanya sobek, dan penglihatan memburam. Tapi dia tidak minta maaf. Tidak melawan. Tidak juga memohon ampun. Bahkan jika dia harus mati hari ini pun, dia tidak apa-apa. Mungkin seharusnya begitu.

.niskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang