34

62 1 0
                                    

Ruangannya sedikit berdebu tapi juga rapi di saat yang sama. Entah sudah berapa lama Jinan tidak pernah lagi ke ruang desain semenjak terakhir kali ia bertengkar dengan Alaska di sini, lalu dia menghilang bak ditelan angkasa. Matanya hanya mengitari tiap sudut ruangan dengan pencahayaan yang minim karena lampu tidak dinyalakan selain hanya mengandalkan cahaya di luar yang mendung.

Jinan melepaskan kedua pelukan tangannya di tubuh. Membiarkan pria di depannya masih sibuk menaruh sesuatu di loker, lalu membuka jendela untuk membiarkan udara masuk. Ya, dia rasa adalah keputusan yang sangat bodoh ketika membiarkan dirinya mengatakan 'kangen'. Dia yakin, setelah ini pasti pemuda itu akan meledeknya.

"Ada apa lagi?"

Suara Alaska terdengar. Tidak terlalu tegas, tapi juga sedikit menekan. Tangannya masih sibuk mengibas gorden jendela dengan santai dengan masih memunggungi Jinan.

Pertanyaan itu. Jinan hanya diam beberapa detik-sedang mencerna apa maksud dari pertanyaan Alaska.

"Nggak ada apa-apa."

"Masa?" Nada Alaska tidak pernah terdengar sekepo itu, bahkan untuk Jinan sekali pun. Badannya berbalik, membuat siluet dirinya terpampang di bawah lantai keramik karena membelakangi cahaya. "Coba sini."

Anehnya, Jinan menurut-mungkin akan selalu menurut apapun yang Alaska suruh bahkan jika dia disuruh mendekat tepat di depan Alaska. Sepatunya basah dan kotor, rambutnya apalagi, juga seragam sekolah ikut tembus pandang namun Alaska tidak terfokus di mana-mana selain mata Jinan. "Milo udah dikasih makan belum?"

Jinan mengangguk. "Hum, udah tadi. Makannya agak sedikit belakangan ini, kenapa ya? Gue takut Milo sakit. Mungkin lo juga harus ikut kasih makan biar dia napsu lagi."

"Lo sendiri?"

Dahi Jinan berkerut. "Apanya?"

Alaska menyandarkan dirinya di kusen jendela. Dengan menaruh satu tangan di kantung celana kiri, dan tangan kanan dibiarkan lepas. "Perlu kayak Milo juga?"

Jinan membisu. Dia tau susah mencerna perkataan Alaska, tapi kalimat terakhir Alaska mampu membuatnya sedikit memalingkan wajah untuk menyembunyikan kemerahan. "Gue udah makan!"

Salah lagi. Jinan malah menjawab pertanyaan dengan sedikit lebih ngegas. Tawa kecil terdengar, atau mungkin lebih terdengar seperti ledekan. "Gue nggak nanyain lo udah makan atau belum."

Mata Jinan mendelik tidak terima sekaligus menahan malu. "Terus apa dong?!"

Bahu Alaska mengedik santai. Tatapan matanya masih terlihat binar ketengilan dan sombong. "Harus ada gue dulu biar waras?"

Kali ini Jinan merasa puncak kekesalannya sudah di ubun-ubun—dan yang paling mendominasi adalah rasa malu. "Gue udah waras sebelum ketemu sama lo kali!"

"Masa?" Nada Alaska malah tedengar menjengkelkan sekali. "Tadi katanya kangen. Ngomongnya udah dua kali lagi."

Tuhkan.

Jinan benci kalo sudah confess dengan Alaska begini. Padahal tadi itu benar-benar impulsif! Bukan benar-benar kangen. Yah tadi itu Jinan sedang iseng saja berkata seperti tadi. Argh, mau taruh di mana wajah Jinan kalo sudah begini?! Dia yakin Alaska akan menjadikan ini alasan untuk terus mengejeknya.

Sebaiknya Jinan pergi saja dari sini. Jauh-jauh dari pria ini sebelum mukut merconnya menuturkan kata-kata menyebalkan.

Mulut Jinan terbuka untuk melayangkan pamit pergi karena dia sudah ada janji dengan seseorang, tepat ketika kedua tangan Alaska terangkag memegang kedua pundaknya. Otomatis membuat Jinan mengerutkan sedikit dahinya dengan bingung.

.niskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang