64

52 0 0
                                    

"Tapi kalo jelek, bilang, ya? Nanti gue bikinin yang baru."

Alaska menghela napas. "Iyaaa, Jinan. Gue bahkan belom liat, dari tadi lo sembunyiin terus."

Jinan menyengir, masih menyembunyikan lukisan miliknya untuk Alaska di belakang punggung. Tiba-tiba saja dia tidak percaya diri dengan ini. Takutnya saja Alaska malah berekspetasi tinggi dan tidak menyukainya. "Jujur, ya?"

"Lo udah ngomong gitu tiga kali."

Bibir bawah Jinan manyun. Pelan-pelan mengulurkan lukisan itu ke depan Alaska. Sengaja dia membuang wajah tapi diam-diam melirik saat Alaska sedang mengamati lukisannya. Ekspresinya sama sekali tidak berubah sampai Jinan kira cowok itu kurang suka. Lumayan lama cowok itu memandang lukisannya dengan sorot mengamati.

"Nggak terlalu oke, ya?" cengir Jinan seraya menggaruk belakang kepalanya. "Nanti gue—

"Thanks." Alaska mengucap tanpa melepaskan pandanganya dari sana. "Jadinya berapa hari?"

Jinan agak menelengkan kepala. "Lupaaaa. Pokoknya waktu tau ulangtahun lo, gue langsung buat."

Alaska lantas mendengus halus seraya menatapnya. "Jadi ini alesan lo nggak mau diliat waktu gue mau berangkat?"

Jinan tersenyum seraya mengangguk-angguk. "Lo suka?"

"Suka."

"Sesuka apa?"

"Maunya sesuka apa?"

"Ya apa gitu..." Jinan memutar-mutar jempol kakinya di lantai. "Puji kek, dikit."

"Males." Alaska mengetuk pelan kening Jinan. "Ayo makan. Gue masakin."

Jinan langsung berjingkrak senang seraya menepuk tangannya. "Mauuu." Dia kira Alaska akan menaruh kembali di spanram, tapi cowok itu justru menaruh di dalam kotak yang disediakan Jinan dan membawanya ke ruang tamu. Memperlakukannya dengan hati-hati seolah adalah barang pecah belah. Hal yang membuat Jinan tersenyum.

Makan malam kali ini, Jinan rasa lebih seru karena akhirnya Alaska mau dibantu. Meski dengan paksaan, sih. Alaska membuat bumbu, sedangkan Jinan memotong-motong dada ayam. "Pelan-pelan motongnya. Pisaunya tajem."

Jinan menoleh, tenyata Alaska sedang memperhatikannya. "Okeee, Mas."

"Kenapa manggil gue gitu?"

"Becandaaa, elah." Jinan kemudian tersenyum licik. "Tapi lucu, deh, panggilannya gitu. Mas Al, hiihihii.."

"Gajelas lo." Tak pelak Alaska juga terkekeh mendengarnya.

"Tapi gue mau nanya, deh. Siapa aja orang yang udah sering lo masakin?"

"Kenapa nanya?"

Bahu Jinan mengedik. "Yaaa mau tau aja, Mas."

"Banyak. Orang rumah, Neli, sama lo."

"Tapi yang lo ajak masak?"

"Baru lo."

Jinan menunduk seraya tersenyum senang. Jadi dia orang pertama, ya? Ini saatnya memilih adat yang tepat untuk pernikahan mereka. Dia jadi membayangkan hal-hal yang akan dilakukan suami-istri—salah satunya memasak. Otaknya jadi melalang-buana. Betapa senangnya Jinan.

"Kenapa senyum-senyum?"

Jinan menggeleng dengan senyuman gembira. "Berarti gue cewe pertama dong yang diajak lo masak? Kita kaya suami-istri ya, Al."

"Lebih kayak pembantu-majikan, sih."

"Ck, bajingan lo!" Jinan menendang pelan kaki Alaska. "Untung gue sayang."

.niskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang