Habis menemani Neli menemui guru di ruang OSIS, Jinan langsung menuju kelas untuk mengambil tas. Awalnya Neli bersikeras untuk menemani Jinan, tapi ia menolak karena Neli masih sibuk saja dengan urusannya. Dia jadi tidak enak merepotkan Neli.
Meski agak tertatih, Jinan lumayan terlatih setelah kontrol terakhir kemarin. Dia tidak menggunakan tongkat lagi meski jalannya belum lancar. Diraihnya tas dan buku-buku kemudian keluar kelas. Kebetulan kelas sudah kosong setengah jam yang lalu. Beberapa temannya—mungkin nyaris semuanya bertanya-tanya tentang kaki Jinan, tapi gadis itu mengatakan jika ada kecelakaan. Tentu saja mengingat nyaris dua bulan waktu itu dia tidak masuk sekolah.
Sekarang Jinan berencana untuk ke gedung ekskul. Sebelum akhirnya dia berpapasan dengan seseorang. "Jinan."
Jinan mengangkat wajah, menatap Karel di depannya. Dari penampilannya, cowok itu sepertinya akan bersiap pulang. "Eh, hai, Karel."
"Kamu ngapain ke sini?" Karel bertanya seraya mendekat. Cowok itu kemudian teringat sesuatu. "Oh, mau ke kelas desain, ya."
Jinan mengangguk. "Iya. Kamu pulang?"
"Mau ke RS nemenin mama kontrol." Cowok itu kemudian merogoh saku jaketnya. "Sebenernya ada yang mau aku kasih tau sama kamu." Nada bicara Karel memelan dan terdengar serius. Bahkan belum mendengarnya saja, Jinan sudah berdegup duluan.
"Kenapa, Rel?"
Cowok itu membuka ponsel, lalu mendesah pelan. "Sorry, sorry. Handphone aku mati, aku nggak bawa charger." Karel memasang wajah bersalah.
"Ah, gitu..." Jinan berdehem. "Emangnya... tentang apa, Rel?"
Kening Karel agak berkerut. Seperti bingung ingin menjelaskan dari mana. "Tentang orangtua kamu."
Jinan mengangkat alis. "Orangtua aku? Maksudnya mama?"
"Dua-duanya." Karel menjawab. Dia bisa melihat tubuh Jinan agak menegang. "Makanya, ada sesuatu yang mau aku tanyain langsung. Di hape ini."
Jinan terdiam. Dia bahkan cukup kehilangan kata-kata ketika Karel bisa sejauh itu menemukan informasi—meskipun dia tidak tahu sejenis apa informasinya. Entah bagaimana, perasaannya jadi tidak nyaman. Tapi dia mencoba untuk tenang.
"Ji."
Jinan dan Karel menoleh ke sumber suara. Ada Alaska di sana sedang mencangklong tas di salah satu bahu. Alaska mendekat, melirik pada Karel yang disapa anggukan olehnya. Kemudian menatap pada Jinan. "Mau balik sekarang? Atau masih ada urusan?"
Jinan melirik pada Karel lalu pada Alaska. "Udah kok, Al." Gadis itu kemudian beralih pada Karel. "Rel, duluan ya. Nanti... bisa kabarin lagi kapan-kapan."
"Gampang, Nan. Hati-hati." Karel tersenyum, seraya melambai pelan.
Jinan mengangguk. "Kamu juga."
Setelah itu, Jinan dan Alaska berlalu. Sementara Karel menatap punggung mereka berdua yang berjalan bersisian. Dapat didengarnya sekilas obrolan mereka.
"Emang kakinya gak sakit kalo gak pake tongkat?" tanya Alaska seraya memperhatikan langkah-langkah Jinan.
Jinan menggeleng. "Nggak, Al. Tapi harus pelan-pelan. Aduh!" Kaki Jinan malah salah langkah hingga hampir terjatuh, membuatnya reflek memegang lengan Alaska.
"Pelan aja, nggak usah buru-buru." Alaska mengawasi langkah-langkah Jinan. "Tasnya berat. Sini gue bawain."
"Bisa kok, Al."
"Bisa tapi tadi hampir jatoh. Emang bawa apaan, sih, banyak banget keliatannya?"
Jinan terkekeh kecil. "Bawa buku paket sama laptop Neli. Tadi dia titip soalnya bawaannya penuh."
Gadis itu kembali menolak saat Alaska menawarkan bantuan lagi. Bukannya Alaska menganggap dia lemah atau apa, tapi karena kondisi Jinan belum sepenuhnya pulih apalagi jalannya masih belum lancar. Alaska hanya memastikan gadis itu tidak tersandung saja.
Begitu sampai di mobil, Alaska menjalankan mobil mereka. Jinan melirik begitu ada sesuatu yang menangkap perhatiannya di kursi belakang. "Itu apa, Al?" tanyanya sembari mengedik pada sebuah papan kotak yang terlapisi paper bag besar, di sampingnya juga ada paper bag lain.
"Buat lo."
Jinan mengangkat alis. "Buat... gue?"
Alaska mengangguk. Sepertinta Alaska sedang tidak mau membahasnya di sini, jadi Jinan menunggu saja sampai mereka di apartemen. Lagi-lagi kini Alaska yang memerintah agar dia saja yang membawa tas Jinan.
Berat sekali, pantas gadis itu nyaris tersandung.
Alaska menaruh tas dan bawaannya sendiri. "Ikut gue."
Jinan menurut. Mengikuti Alaska pada satu ruang kecil di sana. Jinan bahkan baru mengetahui jika unit seluas ini ternyata memiliki tiga ruangan—yang ia ketahui hanya dua kamar tidur. Tapi ternyata, ketika Alaska membuka satu ruangan kecil dan menyalakan lampu, Jinan jadi tahu ada ruangan kecil tapi juga tidak sempit. Kosong, hanya ada satu meja dan kursi yang tertutup kain, serta rak.
Alaska menyerahkan paperbag itu pada Jinan. "Buka aja."
Jinan lagi-lagi mengikuti. Dengan perlahan, ia agak terkejut melihat tiga buah kanvas berukuran macam-macam. "Ini buat ngelukis, Al?"
Alaska mengangguk. "Buat lo di sini."
Jinan terdiam menatap Alaska, lalu cowok itu mengeluarkan beberapa palet dan kaleng cat lukis. "Lo bisa ngelukis di sini buat hiburan."
"Tau dari mana gue suka ngegambar?"
Alaska menatapnya sekilas, sebelum akhirnya menyusun cat-cat itu di rak. "Gue sering liat lo ngegambar di laptop, atau di buku waktu ekskul. Jadi gue pikir, lo bakal cocok sama ini."
Jinan termangu. Dia tidak tahu kalau Alaska dari dulu juga memperhatikannya. "Makasih, ya, Al..."
Alaska mengangguk pelan. Tentu saja Jinan senang karena sudah lama sekali dia tidak menggambar. Terakhir ia menggambar, justru dirobek oleh mama karena kesal melihatnya menggambar. Sedari itu, Jinan tidak mau lagi menggambar di rumah. Padahal hobinya dulu adalah membuat karikatur dan gambar anime.
Kini tanpa dia bisa prediksi, Alaska justru mengabulkannya.
"Tapi kenapa tiba-tiba, Al?"
Alaska berdehem, menyenderkan tubuhnya di meja. Tangan keduanya masuk ke dalam kantung celana. "Gue bakal ke Singapore buat nemenin Key berobat. Jadi..." Alaska menggaruk pelipisnya. Sebenarnya dia agak bingung bagaimana mengatakannya. "Supaya lo nggak terlalu kesepian aja. Neli mungkin bakal ke sini, tapi gue tau dia nggak bisa sesering itu."
Untuk beberapa saat Jinan terpaku. Tentu saja dia kaget.
"Nanti dianter jemput sama Pak Edy aja, ya. Jangan sendirian lagi."
Jinan mengawasi barang-barang itu. Bagaimana peralatan lukisnya begitu lengkap dan cowok ini benar-benar tidak mau dirinya dilanda bosan.
Alaska tidak ada alasan khusus sebenarnya, tiba-tiba di pikirannya hanya Jinan suka menggambar hal kecil secara reflek ketika bosan di ruang desain. Maka dari itu, Alaska memberinya peralatan lukis ini.
Meski dalam hati kecilnya, dia berharap hal ini bisa mengusir apapun yang menganggu Jinan di pikirannya. Alaska tidak pandai berkata-kata penenang, yang dia bisa lakukan hanya ini.
"Ruangannya bebas mau lo pake untuk ngelukis atau yang lain. Dulu gue pilih di sini untuk ruang kerja aja. Tapi gue juga ada di rumah sama sekolah." Alaska memasangkan kanvas itu pada spanram. Sinar matahari langsung menerobos masuk memberi kesan baru di sana. Jendela kaca menampilkan langsung pemandangan langit biru dan kota besar Jakarta. Cowok itu laku menoleh.
"Nggak pa-pa, kan gue tinggal dulu?"
Tidak, sebenarnya.
Jinan mau tidak mau mengangguk. "Nggak pa-pa. Salamin ke Key, ya." Gadis itu mendekat. Menatap wajah Alaska yang setengahnya terkena pantulan matahari. "Makasih udah bikin ini semua buat gue."
Alaska tidak menjawab apapun. Matanya hanya menatap Jinan. "Kabarin gue kalo ada apa-apa."
Jinan mengiyakan. Entahlah tapi dia rasa suasana ini cukup canggung. Dan Jinan sadar, kalau ini berakar dari dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Fiksi RemajaHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...