Kakinya berlari memgitari gimnasium dengan tangan tidak berhenti mendribble bola. Melempar bola dari jarak jauh. Three point.
Terus menerus melakukan itu seolah akar pikirannya yang terus bercabang akan hilang. Pikirannya terganggu membuat gerakannya terburu-buru dan penuh emosi. Kendati demikian, lemparannya tidak ada yang lolos masuk ke dalam ring. Selalu sempurna.
Karek tidak tahu kapan asam lambungnya akan naik karena sedari tadi malam dia belum makan sama sekali apalagi kegiatannya seharian ini full, ditambah pikirannya yang kacau. Dia masih belum ingin pulang-kalau perlu tidak pulang juga tidak apa-apa. Toh alasannya pulang hanya bertemu dan menjaga Mama. Selain itu tidak ada. Gimnasium ini sudah seperti rumah keduanya.
"Hai."
Karel menerima kembali bola yang teroantul dari pinggir ring setelah melakukan kembali three point. Laki-laki itu membuang napasnya lalu berbalik pada gadis yang berdiri berjarak beberapa meter di depannya.
"Kamu tadi ngechat aku suruh ke sini. " Gadis itu mencoba tersenyum. "Kenapa?"
Rasanya masih sama seperti ketika mereka saling bertemu di lapangan sekolah beberapa minggu lalu. Kelewat canggung meski Karel terlihat biasa saja, tapi ia bisa merasakan kecanggungan itu datang dari gadis di depannya ini. Karel menghempas basket, memantulkannya pelan dengan langkah mendekat pada Jinan.
Kemudian berhenti menyisakan beberapa langkah.
"Aku mau kasih kamu sekali lagi kesempatan buat jujur."
Kata-kata itu membuat Jinan membeku sesaat ketika pemuda tinggi di depannya ini menatapnya sedikit intens. Nadanya seperti tertahan dan mencoba untuk berkata hati-hati.
"Jujur... kenapa, Rel?"
Karel membuang napas untuk menetralisir rasa gelisah juga emosi yang mendadak naik tatkala menatap kedalaman mata Jinan. Rasanya seperti dia disakiti berkali-kali tapi dia tidak dapat marah. Padahal ia ingin rasanya menumpahkan emosi di ubun-ubun. Badannya berbalik sedikit menjauh untuk mengambil ponsel di tasnya yang sengaja ditaruh dekat kursi tribun.
Jinan sedikit bingung, meski diam-diam dia menyimpan banyak rasa takut ketika Karel kembali berbalik mendekat dengan mengulurkan ponselnya yang menampakan gambar.
Dan ketakutan Jinan benar-benar terjadi.
—
"Gilaaa! Kita menang broo?? BRO?"
"HAH SUMPAH NGGAK BOHONG?!"
"NGGAK ANJIR ITUU LO BACA AJAAA EMAILNYA!"
Zidan dan Senjani langsung segera membuka desktop email di komputer mereka. Dan benar saja, mata mereka terbelalak membaca sederet kalimat masuk di sana.
From : PT National Graphic Indonesia
"Congratulation in gaining the first place! Please confirm to..."
"Ini beneran gila..." Zidan berbisik. Yang segera saja diangguki oleh Senjani. Fotografi di dalam ranah National Geographic adalah posisi paling ditunggu-tunggu di dunia fotografi. Persaingannya begitu ketat, bukan hanya di Indonesia tapi juga internasional. Tentu saja jerih payah mereka memberi waktu dan kreativitas tanpa batas memberi hasil yang sangat besar.
Pintu terbuka dan sontak seluruh isi kelas desain menatap ke arah yang sama. Alaska mengerjap. "Lo semua kenapa?" Bingung karena semuanya menatap pemuda itu intens.
Dua detik mereka masih diam sampai Zidan duluan yang membuka suara.
"KITA MENANG, EGEEE! MAKAN-MAKAN ENAKK, WUHUUU!" Sorakan Zidan disambut tepukan tangan mereka yang lain. Belum sempat Alaska bereaksi, Zidan lebih dulu berlari lalu menghambur memeluk Alaska yang yang tidak sempat mengindar, begitu pun temannya yang lain ikut menyusul memeluk.
KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Teen FictionHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...