62

54 1 0
                                    

Lukisannya nyaris selesai.

Jinan memundurkan wajah, menelengkan kepala memperhatikan kanvas. Lalu mencoba memberikan warna kebiruan dan coklat pada titik terakhir. Gadis itu tersenyum puas. Lukisannya berakhir sesuai dengan apa yang dia inginkan. Kemudian perlahan, senyuman itu luntur.

Jinan menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangan. Hatinya bergejolak tentang dua hal. Tapi salah satunya adalah, reaksi jika Alaska menerima ini di hari ulangtahunnya. Satu sisi dia tidak sabar menunggu itu tiba, tapi sisi yang lain berkata ala sebaiknya lukisan itu tetap di sana saja.

Tepat pukul 05.01 pagi lukisan selesai. Jinan rasa, dia perlu mandi saja untuk bersiap sekolah meski jam tidur dan jam makan malamnya sudah tersita habis menyelesaikan lukisan ini. Mandi, meminum air putih, dan—Jinan segera meraih buku catatannya. Padahal baru jam 6 kurang, tapi sekarang Jinan sudah di belakang tukang ojek online.

Ini adalah rekor tercepatnya sekolah pagi di sepanjang sejarah.

Rencananya adalah membersihkan jelas meskipun tidak piket, berkeliling perpustakaan, dan berkeliling gedung IPS—jika beruntung dia akan menemukan jepit rambutnya. Meski kantuk nelanda, Jinan tetap abai dan melanjutkan pekerjaannya. Satpam saja sampai heran ada anak sepagi ini datang. Bahkan seluruh kursi dan meja kelas sangat-sangat rapi, tidak ada kertas juga botol bekas air mineral.

Dia rasa pengalihan pikirannya akan cukup dilakukan dengan semua ini. Melukis sampai pagi, melakukan pekerjaan yang bukan seharusnya dia kerjakan, berkeliling sekolah, sampai dia juga membantu Budhe Diar—penjual gorengan di kantin—membereskan dagangannya untuk disusun. Awalnya Budhe Diar heran, tapi tetap senang ada yang membantu apalagi Jinan benar-benar menyusunkan barangnya.

Terakhir, dia berdiri di depan kulkas untuk memilih minuman, tapinyang dilakukannua hanya diam seolah sedang berpikir keras dalam memilih. Jelas-jelas di sana ada cola dingin kesukaannya dan tentu dia hanya memilih itu.

Jinan meraih sekaleng, lalu berbalik badan. Terkejut setengah mati saat seseorang memblokir jalannya dengan berdiri menjulang. Jantungnya serasa loncat.

"Kok chat gue nggak dibales?" Alaska memperbaiki letak ranselnya. "Kan udah gue bilang bakal jemput lo. Ke sini pake apa?"

Jinan berdehem dengan mata berkeliaran, membiarkan cowok di depannya menunggu. Mengawasinya dengan mata tajam. "Eh, iya? Tadi gue nggak liat hape. Jadinya pake ojol. Sorry, ya..."

"Gue chat jam setengah 6 pagi tapi lo sempet pesen ojol?"

Mampus.

Jinan menggigit bibir. "Bukan gitu. Pokoknya gue nggak liat chat lo. Terus gue kira lo masih sakit, Al."

Alaska menggeleng pelan. Dia bahkan berkelilinh kelas Jinan memastikan gadis ini sudah sampai ke sekolah ketika menemukam Jinan sudah tidak ada di apart. Malah menemukan gadis ini dalam keadaan bingung di depan kulkas minuman kantin. "Emang mau ngapain pergi pagi-pagi?"

"Mau... piket. Maaf ya."

Alaska hanya mengangguk mengerti. "Ya udah. Balik kelas, gih." Alaska memundurkan langkah. Lalu berbalik sepenuhnya meninggalkan Jinan. Tak lama helaan napas lega keluar darinya. Tidak menyadari jika wajahnya sudah memerah sampai tengkuk.

.

Jinan tidak bisa kabur lagi.

Alaska sudah menunggunya di depan kelas ketika Jinan hendak berpura-pura piket lagi. "Eh, Al, nggak mau balik duluan? Gue masih piket. "

Alaska mengangguk singkat. "Gapapa. Gue tungguin."

"Tapi—" Jinan menjeda, bingung menjelaskan dan Alaska juga menunggu. "Ya udah. Tunggu, ya."

Jinan meringis saat di dalam kelas, seraya menyapu. Ia menghela napas. Bahkan sampai pulang pun, mereka hanya diam satu sama lain.

"Mau makan apa?" Alaska bertanya saat mobil mereka keluar dari gerbang sekolah.

Jinan menggeleng. "Tadi udah makan."

Alaska agak menaikan alis. Tumben sekali Jinan menolak makan, biasanya jika kenyang sekali pun cewek ini akan kuat makan. Dan kelebihan lainnya, dia selalu mengatakan apa yang dia inginkan. "Gue masakin aja, mau?"

Jinan diam-diam melotot ngeri, tapi dia hanya menatap jalanan luar. "Eng... nggak, deh. Soalnya hari ini mau kerkom."

"Sama siapa perginya?"

Duh, Alaska kenapa banyak nanya, sih?!

"Dijemput temen."

Barulah Alaska diam. Saat di lampu merah, Alaska menyempatkan melihat Jinan yang membuang wajah ke jalanan luar. Asyik melihat luar kaca dengan fokus sekali, ditambah banyak diam. Dia merasa agak aneh dengan sifat Jinan dari pagi. Tapi Alaska mencoba mengerti saja. Mungkin Jinan sedang dalam mood yang kurang baik.

Saat sampai di apart, Alaska langsung pamit pergi. Hal yang membuat Jinan bersyukur dan menghela napas lega. Segera saja dia mengganti baju dan mandi untuk tidur siang. Ya, dia memang berbohong kalau tidak ada kerja kelompok sama sekali. Kedua, dia lapar luar biasa karena dia tidak cukup makan sekali.

Jadinya Jinan menggoreng telur dan ayam. Diam-diam dia berpikir tentang Alaska—shit, dia malu banget. Dia tidak tahu kalau dampaknya akan sebesar ini sampai dia tak berkutik. Bahkan sekedar menatap Alaska saja dia tidak sanggup sama sekali.

Pikirannya masih tidak tenang. Dia hanya melukis di ruangan kecil meski dia kurang tidur. Tapi kuasnya berhenti dengan genggamannya yang mengerat. Jinan menggigit bibir, lalu memekik seraya menyentak-nyentakan kaki. Dadanya berdegup, lagi-lagi. Tidak, tidak.

Dia tidak boleh bertemu Alaska meskipun ingin. Sangat ingin. Tidak dalam keadaan dirinya yang tak terkendali ini.

Besok pun lagi-lagi dia menghindari Alaska. Dia mengirim pesan bahwa dia dijemput padahal menggunakan ojek online lagi. Sengaja berlama-lama di perpustakaan atau di kantin sampai nyaris bel—wanti kalau Alaska menyusulnya lagi. Oke, dia memang over pede, tapi dia hanya takut saja. Neli bahkan mengajaknya ke kantin dan saat dia nyaris berpapasan dengan Alaska, Jinan langsung berbalik badan dan menarik Neli. Beralasan dia harus ke toilet karena sakit perut. Sudah lebih 3 hari dia menghindari Alaska terus-terusan.

Jinan bersiap pulang, lalu ponselnya berbunyi menandakan pesan masuk.

Temenin gue ya nanti?
Mau cari barang buat Key

Jinan merengek kecil membaca pesannya seraya mengubur wajahnya ke dalam tas. Dia.... benar-benar ingin tapi sedang tidak siap. Apalagi ini untuk Key! Jinan tidak bisa rasanya menolak.

Maaf, Al, gue ada kerkom lagi
Nanti gue prgi sama temen

Napasnya melengos kasar. Lagi-lagi dia berbohong.

oke, hati-hati

Jinan sangat merasa bersalah. Bukannya apa tapi... entahlah. Jinan benar-benar maluuu. Mau tidak mau, dia menunggu dulu selama beberapa menit di kelas meski Neli sudah memaksanya pulang bareng. Jinan jadi beralasan banyak hal. Sudah berapa banyak kebohongan yang dia lakukan, Jinan tidak tahu.

.niskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang