"Milo!"
Segera saja, Jinan berseru memanggil kucing—yang saat ini menjadi miliknya di belakang sekolah. Tanpa kata, ia berlari menghampiri si Milo yang tidur dengan tenang di belakang sekolah. Dia lupa memberinya makan tadi pagi sebelum masuk kelas. Lain kali Jinan juga akan memandikannya dan memberinya vitamin.
Kucing itu nampak sedikit terkejut, antara mendegar derap langkah Jinan yang cepat atau seruan Jinan. Otomatis tanpa bisa dicegat, hewan lucu itu tiba-tiba berlari meningalkan Jinan.
"Eh, eh kok lari, sih?!" Jinan berdecak sebal. Kakinya menyusul berlari mengikuti si Milo. Melewati lorong kelas lalu belok ke ujung kanan yang sepi. Ada hamparan taman yang tidak trawat lagi sehingga tidak asri, lalu tembok-tembok besar pembatas.
Milo yang merasa tersudutkan oleh Jinan tidak bisa melakukan apa-apa selin hanya meringkuk dengan wajah melas sdolah meminta pengampunan Jinan yang berkacak pinggang menatapnya. "Heh, lo ngapain lari-lari? Gue capek ngejar lo, tau! Mau dikasih nggak?"
Ia berjongkok mengamit pinggang kecil seekor kucing itu lalu memeluknya. Baru saja ia hendak berbalik, suara gemerisik lewat di telinga. Jinan memutar badan, lalu matanya membulat melihat sekumpulan pemuda sedang berdiri di tembok pembatas. Sebagian dari mereka bahkan ada yang melompat dari luar dan mengeluarkan sekotak rokok.
Sepertinya Jinan salah jalan.
Pemuda itu memang siswa-siswa Gelora Bangsa—dengan kemeja yang terbuka, ada juga yang sengaja tidak dibuka, beberapa dari mereka mengisap rokok. Siapa pun tahu mereka sedang membolos, apalagi daerah ini tidak terlalu sering disentuh satpam selain jika mereka sedang berjaga malam dan patroli.
Sepertinya dia harus pergi dari sana saja dan segera membawa Milo. Well, karena kebetulan kelasnya sudah lewat 5 menit yang lalu. Seharusnya dia bisa saja saat ini duduk manis dan mendengarkan materi di kelas kalau saja Milo tidak mengerjainya.
Krek.
Ia tersentak tepat saat kakinya menginjak kaleng bekas. Namun yang membuatnya tersentak adalah sahutan yang terjadi kemudian.
"Woi!" Jinan menoleh, mendapati semua cowok-cowok di sana sedang memandangnya. Lalu tanpa Jinan bisa hindari, mereka berjalan cepat ke arahnya. Jujur saja... Jinan ketar-ketir jika saja dia di sini lalu bisa-bisa dihajar sama mereka. "Ngapain lo di sini?" seru salah satu cowok itu.
Jinan mengerjap. Semakin mengeratkan pelukannya pada Milo. "A-anu... kucing..."
"Kucing apanya?!" sentak teman berandal satunya.
"Gue mau ngambil kucing!" Jinan berseru cepat seraya mengangkat Milo setinggi wajahnya. "Kucingnya kabur, terus gue ambil. Udah gitu doang!"
Tapi sepertinya mereka memang bukan orang yang gampang percaya. "Bohong. Lo ke sini mau laporin kita bolos." Cowok yang sedang mengisap rokok menunjuknya dengan jemari yang terselip rokok. "Alesan lo nggak masuk akal."
Mata Jinan membulat kesal. "Ngapain gue—
"Awas lo kabur. Buat make sure lo nggak ngadu ke guru, kita tahan sampe pulang jam sekolah." Cowok yang paling tinggi memberinya final. Dan—apa-apaan bajunya yang berbau rokok itu?! Jinan tidak suka sekali.
"Nggak!" Jinan berseru. "Gue nggak ngadu, oke? Gue cuka mau ambil Milo."
"Tetep aja lo bisa ngaduin kita. Emang lo pikir gue goblok? Udah berapa anak kayak lo yang caper sama guru." Jinan semakin ciut mendengarnya.
Bagaimana ini? Jinan punya sedikit kemampuan berkelahi, itu pun dia tidak pernah menggunakannya. Dan jika bisa sekali pun, apa iya dia bisa melawan empat orang sekaligus dan mereka laki-laki berandalan?!

KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
JugendliteraturHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...