11.

54 11 3
                                    

Mungkin Alaska merasa belakangan ini ada keajaiban.

Setelah Bang Ernan—rekan Bang Satya— mengakhiri pertemuan mereka yang mempersiapkan festival besar di sekolah kali ini, pria itu meninggalkan kelas desain grafis. Festival sekolah memang salah satu hal yang selalu dinantikan kebanyakan murid karena siapa yang tidak senang seru-seruan dan terbebas dari jam pelajaran? Paling hanya classmeeting di setiap kelas.

Tentu saja yang senang adalah murid biasa, bukan panitia acara.

Alaska mengambil macbook-nya dan memasukan dalam tas, juga dengan kamera yang dibungkus tas kamera yang dibiarkan menggantung di salah satu bahu. Pemuda itu melirik gadis yang masih saja fokus pada sederet tools di komputer.

Mungkin itu keajaiban yang Alaska maksud. Jinan yang datang tanpa perlu dicegat. Tumben tidak bolos.

"Bentuknya kurang presisi, tuh."

Jinan menoleh kaget setelah fokusnya pada layar komputer buyar. Baru menyadari jika kelas hampir kosong. Hanya ada beberapa murid yang memeriksa loker dan mentransfer file dari komputer.

"Coba perhatiin ukuran yang ini sama font-nya. Kurang pas."

Alis Jinan terangkat bingung, memperhatikan desain yang ia coba buat. Sebenarnya yang ia lakukan sangatlah dasar, tapi mengingat absensi cewek itu yang terlalu banyak, hal begini pasti terlewatkan.

"Masa? Tapi di mata gue pas aja," balas Jinan mengerutkan kening.

Alaska mendengus. "Karena lo yang buat-lah."

Jinan mencebik, berusaha fokus mengerjakan tugasnya.

Hening melingkupi mereka sejenak. Jinan yang fokus dengan tugasnya dan Alaska yang sibuk membersihkan lensa kameranya dengan kain khusus. Biasanya memang seperti ini. Alaska akan menunggu sampai murid ekskul pulang dan ia akan menjadi orang terakhir di sana. Terkadang sampai malam.

Alaska memang kadang lebih memilih mengerjakan semuanya di ruang kecil miliknya di sini ketimbang dibawa ke rumah. Lelaki itu membidik sebentar, mencoba kameranya untuk dipakai di acara nanti. Kamera hasil hadiah perlombaan juara 1 fotographis kelas 10 kemarin.

Kameranya ia bidik pada sudut-sudut ruang, meja-meja yang dihantam sinar matahari oranye-kekuningan, kemudian berhenti pada Jinan. Alaska membidik, mengambil satu jepretan, kemudian mengecek hasilnya.

Jinan yang fokus dengan layar laptop, wajah yang samar akan memar dan didominasi kebingungan, serta rambutnya yang agak berantakan.

Alaska kurang puas. Pemuda itu membidik lagi dari angle yang berbeda. Tepat menyerong dari arah Jinan, memfokuskan pada wajahnya yang dihantam samar sinar senja sampai mata kecoklatannya benderang.

"Alaska lo ngapain, sih?!" geram Jinan. Gadis itu merengut sebal saat sadar Alaska terus mengambil fotonya. "Hapus, nggak?!"

"Lah, kenapa?"

"Hapus!" Jinan melotot sebal. "Gue nggak suka difoto."

Alaska memasang tampang tak peduli dan tetap fokus pada kameranya. "Nggak usah kepedean kali. Ini gue cuma nyoba doang. Ntar juga diapus."

"Jangan ngeles!"

"Yaelah santai," Alaska memutar bola mata. "Lo cuma objek foto, Jinan. Dijual juga nggak laku foto lo," sahutnya berkata iseng.

Jinan mencebik sebal. Meski memang benar kenyataannya seperti itu, tetap saja mulut Alaska tidak pernah disaring. Gadis itu mematikan komputer setelah dirasanya tugasnya selesai dan ia telah memindahkan file itu di ponselnya. Jinan beranjak berdiri mengambil tasnya.

"Apaan?" tanya Alaska mengangkat alis bingung saat telapak Jinan terulur di depannya.

Jinan mendengus lelah. "Kunci loker. Katanya kunci loker gue sama lo."

Dia baru teringat jika ada loker di sini dan hanya dia yang belum menggunakannya. Ke ruang ini saja jarang.

Alaska merogoh sakunya sebentar. Memisahkan kunci Jinan yang terkait di ring yang sama dengan kuncinya, lalu dipindahkan ke atas tangan Jinan.

Baru saja Jinan hendak menarik tangannya, telapaknya tertahan. Ia mencebik. "Kenapa, Ka?" tanya Jinan waktu telapak tangan Alaska justru menahan telapaknya yang terulur.

Kulit kasar itu masih bisa dirasakan di bawah kulit Alaska. Kasar, berbekas seperti lajur goresan. Saat itulah pemuda itu mengangkat wajah untuk menemukan mata Jinan yang menatapnya aneh.

Namun secepat itu pertanyaan di kepala muncul, secepat itu pula ego Alaska datang. Mengembalikan akalnya dengan melepaskan tangan Jinan. Dia mengedik bahu cuek.

"Nggak pa-pa," sahutnya pelan.

"Aneh." Jinan mengantungi kunci itu kemudian berbalik badan. Dia harus segera pulang sebelum Mama duluan yang pulang atau dia akan menjadi samsak lagi ketika wanita itu sedang dalam mood yang jelek.

Sudah cukup hasil karya tangannya kemarin sampai tubuhnya sulit bergerak. Setidaknya jika Mama datang, ia bisa mengunci diri lebih lama, menahan lapar sampai tembus pagi.

Langkahnya membawa dia pergi meninggalkan Alaska yang masih setia menatap punggungnya sampai menghilang dari balik pintu. Pemuda itu menunduk, masih merasakan bayang-bayang dari tangan Jinan.

Apapun itu, pasti bukan sesuatu yang baik.

...

Benar saja.

Saat ia membuka pintu utama, yang ia dengar pertama kali adalah teriakan frustasi yang berasal dari ruang tengah. Teriakan geraman yang akan menyambutnya pulang seperti kemarin-kemarin.

"Bajingan!" geram Mamanya. Jinan tidak berkutik di pintu utama hanya untuk mendengarkan Mamanya mengumpat. "Perempuan itu lagi. Dasar brengsek, argh!"

Remasan di rok Jinan menguat kala ia pelan-pelan melangkah menuju tangga. Melewati Mamanya yang masih mengumpat di ruang tengah, gadis itu menghitung dalam hati.

Satu, dua, ti—

"Baru pulang kamu?!"

Jinan memejamkan mata, menoleh sebentar pada Mamanya yang kini dalam keadaan berantakan, puntung rokok berserakan, dan cengkraman yang menguat pada ponsel. "Iya."

"Sini kamu, bangsat!"

Here we go again. Masa itu akan kembali datang lagi. Gadis itu mengatur napas ketika membalikan tubuh, membayangkan hal pertama yang akan Mamanya lakukan adalah menjambak rambutnya sekuat tenaga kemudian membantingnya—

Pintu utama terbuka. Jinan langsung tahu siapa laki-laki yang datang mengenakan setelan rapi dan mahal. Juga wajah yang tak mungkin ia tidak kenali. Yang akan ia sumpahi seumur hidup.

Jinan berdecih. "Ada tamu."

Dia tanpa kata berbalik mengabaikan Mamanya yang berteriak. Lalu sekejap mata saat ia sampai di ujung tangga, yang ia dengar hanyalah amukan lalu tangisan yang berujung suara manja. Jinan ingin meludah rasanya.

Barata dan Deline sama bejatnya.

Jinan membiarkan air shower menghantam tubuh memarnya meski perih menjalar mengaliri belahan luka. Kakinya melemas karena mungkin sudah terlalu lelah menahan sakit yang mendera sudut-sudut tubuhnya, ia duduk bersandar pada dinding kamar mandi. Berbeda dengan beberapa hari yang lalu, air di kakinya akan berubah menjadi merah darahnya.

Rasanya ia mau muntah. Setiap dia melihat inci tubuhnya karena cambukan, garis lingkaran cekikan di leher, atau wajah memar. Dia benar-benar ingin muntah. Hal-hal yang akan dilakukan Mamanya ketika berada dalam emosi yang tidak stabil atau ketika Mamanya frustasi karena Barata tidak datang dan memilih mendekam di rumah istri sahnya selama seminggu—menjadikannya samsak lagi.

Sekuat tenaga ia memejamkan mata menahan gemetar di tubuhnya. Lalu dalam hati ia akan merapalkan kalimat layaknya mantra ;

Everything's gonna be okay.

Walau ia tahu, kalimat itu bohong.

..

.niskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang