20

64 6 0
                                    

Pancuran air shower mengalir dari ujung rambut, melewati bahu lebarnya, membasahi setiap jengkal kulitnya yang kini terasa membeku. Air dingin dan rasa lelah memang perpaduan terbaik di malam hari. Tubuhnya lelah bukan main dan sudah hampir empat hari dirinya tidak menyentuh kasur.

Shower berhenti. Diraihnya handuk untuk mengeringkan rambut dan tubuh, kemudian mengenakan celana hitam di atas lutut tanpa atasan sebelum melangkah keluar dari kamar mandi. Tidak ada pencahayaan dari kamarnya sedikit pun selain dari rembulan malam dan lampu belajar.

Setidaknya tidur selama dua jam akan menjadi cukup baginya.

"Al. Woi!"

Suara ketukan pintu terdengar disusul suara bariton dari balik pintu. Manusia satu itu akan selalu menganggu timing terbaiknya dan yang benar saja, bisa-bisanya laki-laki yang kini berdiri di hadapannya dengan masih mengenakan setelan jas kantor, memandangnya dengan tatapan kalut.

"Apaan, sih?!" tandas Alaska memandangnya kesal. "Gue nggak tidur beberapa hari terus seenaknya lo dateng gedor pintu kamar gue."

"Key demam sementara gue harus balik meeting lagi malam ini. Bisa lo anterin dia ke rumah sakit? Nanti gue nyusul."

Rasa lelah yang bercampur kesal hampir melingkupi kepala Alaska. Ingin meledak-ledak. "Masih bisa mikirin kerjaan di saat anak lo sakit? Gue gak yakin meeting lo bakal sepenting itu."

"Al, please.." Gio memberinya tatapan memelas. Hal yang paling tidak Alaska sukai dari lawan bicara yang mencoba merebut belas kasihannya. "Lo sayang sama Key 'kan?"

"Gimana?" Alaska mengangkat dagu, menatap kedalaman mata Gio dengan pandangan dinginnya. "Jelas. Yang perlu dipertanyakan itu rasa sayang lo untuk Key. Kenapa lo manfaatin rasa sayang gue untuk ngebantu lo kucing-kucingan dari Key gini? Lo bapaknya, Gi!"

Sama seperti Alaska, Gio juga menahan rasa emosi yang berpuncak. Tertampar oleh perkataan adiknya yang terasa benar namun membuat harga dirinya ikut merosot. Kedua mata yang hampir mirip itu saling menyorot tajam, sebelum akhirnya satu pria di sana mengambil alih.

"Gue yang urus Key."

Alaska berbalik ke belakang pintu untuk mengambil satu stel hoodie hitam, dompet, dan kunci mobil kemudian keluar melewati Gio. "Kalo lo mau pergi, silakan." Kata-kata itu datang tanpa riak. Mungkin karena Alaska tahu, ujungnya Gio tidak akan mau bertahan dan tetap pergi.

Rasa lelah bercampur emosi perlahan meredup ketika tangan besarnya mengelus dahi berkeringat milik Key yang sedang terbaring lemas. Bibir mungilnya pucat, bergetar ketika menggumam kecil.

"Papa..."

Gumaman kecil itu menghantam dada Alaska. Dia menyayangi keponakannya seperti adiknya sendiri. Pemuda itu beringsut mendekat untuk duduk di pinggir ranjang Key. Mata bundarnya meredup. Alaska dapat merasakan hawa panas di jengkal kulitnya ketika menyentuh dahi Key.

"Key, kita ke rumah sakit, ya?" Alaska berbisik lembut.

"Papa... mau Papa.."

Alaska melirik pintu kamar. Dia sudah tau pasti Gio lebih dulu pergi. Dengan pelan ia menggendong lengan kecil Key dan memeluknya erat. Mama dan Papa-nya belum pulang dan tidak ada yang bisa mengurus Key. Jadi lebih baik ia bergegas menuju rumah sakit.

..

"Bajingan."

Satu pukulan mendarat di wajah.

"Brengsek!"

Dua pukulan di leher. Satu jambakan. Dengan sekali tarikan kepalanya dibentur di sisi pintu jati. Rasa panas dan perih membayang di tulang tengkorak dan kulit tipis di sisi pelipis. Menunggu dua detik terlewat darah mengalir setetes demi setetes tapi siksaan yang dilayangkan tidak kunjung berhenti.

.niskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang