18

59 7 0
                                    

Ruangan ini benar-benar disulap menjadi studio foto.

Dinding-dinding sebagian didekorasi dengan wallpaper berornamen batik, sebagian polos putih, dan sebagian yang lain berlatar hitam-abu metalik. Lampu-lampu studio yang disusun rapi menggantung di sisi latar. Ada banyak tambahan fitur yang menggantung di dinding sebagai penghias. Zidan tidak berbohong waktu dia bilang ruangan ini bakal kece dan tidak kalah dengan studio foto keren lainnya.

Ada beberapa model-model yang sudah disiapkan dengan berbagai kostum untuk siap dipotret. Semuanya tampak antusias, heboh, dan beberapa kali mendecak lelah karena take foto yang terlalu banyak.

"Woi, Ji. Udah turun?"

Zidan tiba-tiba menepuk sekilas bahu Jinan yang berdiri dekat pintu. Pemuda itu tampak sedikit nyentrik dengan kaus putih, outer rompi, celana dengan sobekan di lutut dan bucket hat hitam yang terpasang manis di kepala.

"Tadi cuma bentaran aja, lagi pada istirahat. Paling 5 menitan lagi."

Kabar buruknya, Jinan ditugaskan dalam dokumentasi pertandingan olahraga dan cerdas cermat. Jelas, karena olahraga selalu lebih ramai ketimbang yang lain. Pergantian sesi olahraga selama satu jam memberikannya waktu luang untuk beristirahat sejenak.

Lapangan utama masih ramai oleh siswa-siswi yang mengadakan bazar dari tiap kelas. Neli bahkan memberinya brownis coklat dan pop ice taro sebagai bekal. Mata Jinan masih menikmati penampilan model berkostum modern-tradisional yang akan maju di panggung nanti. Mengamati bagaimana laki-laki di sana yang menatap fokus pada kamera, memandu gaya mereka dengan ekspresinya yang selalu sama.

Ini pertama kali Jinan melihat Alaska benar-benar memotret dengan serius. Sudah seperti photographer profesional saja. Tapi justru, dia lebih tertarik mengamati gerak Alaska yang kelewat santai. Beberapa kali pemuda itu mengusap rambut yang menghalau dahi. Kaus hitam polos dengan tulisan rait kecil di pinggir dada. Jinan ingin bertanya kapan sesi ini selesai karena ada sesuatu yang ingin dia bicarakan sebelum—

"Oke guys, break bentar ya. Kak Ruka sama Serena mau briefing sebelum fashion show nanti. Kalian makan aja dulu, minum gitu seret banget kan pasti." Wildan menyambar dari pintu membawa satu dus Aqua. Mengisyaratkan pada yang lain untuk istirahat dan langsung dibalas dengan helaan napas lega. "Al, cabut bentar. Kita ke ruang OSIS." Wildan langsung melempar sebotol Aqua pada Alaska dan merangkul cowok itu keluar.

Sebelum Kak Ruka dan Serena datang.

...

Berada di keramaian memang menjadi pantangan bagi Jinan. Bukan karena ia tidak menyukai bising dan terlalu suka menyendiri—meskipun sedikit, tapi rasanya tidak menyenangkan saja. Dia bisa melihat lewat viewfinder bagaimana dua tim yang berlawanan di lapangan basket saling mengejar poin. Berlari, merebut bola, melakukan three point lalu terus berlanjut.

Begitu banyak potret yang ia tangkap. Beragam ekspresi, euforia pemain yang berhasil atau raut greget yang gagal tapi terus mencoba. Namun ketika matanya lari dari jendela kamera, sebuah objek justru membuatnya berhenti. Ada kurang lebih tujuh detik dimana dia merasa semuanya terasa lambat. Seperti seluruhnya berputar namun dia justru terpekur di tempat.

Di antara banyaknya manusia di tribun, tapi retinanya menangkap satu orang. Satu orang yang berdiri di pinggir lapangan. Jinan mengenal baik potongan rambut yang tidak pernah berubah itu atau perban yang terpasang di tangan kanan.

Satu detik sebelum matanya melarikan pandangan, matanya justru terkunci ketika pria itu menoleh. Mengunci pandangannya dengan tatapan yang ia tidak mengerti tapi ia enggan berlari.

Salah. Harusnya ia melepaskan pandangannya. Tapi ... dia terjebak.

Lima detik yang terasa begitu lambat segera sirna ketika komentator bersuara mengakhiri pertandingan. Sekolah mereka maju di final besok.

.niskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang