Tidak ada yang lebih menyebalkan saat langkahnya ditahan oleh suara yang ia tidak ingin dengar suaranya.
"Kenapa?"
Mungkin Deline tidak lagi kaget mendengar jawaban yang tidak ada ramahnya datang dari Jinan. Wanita itu hanya menyandarkan punggungnya santai pada sofa besar di ruang tengah.
"Kamu punya pacar?"
Pertanyaan Deline sukses mengerutkan kening Jinan. "Kenapa Mama nanya gitu?"
"Jawab iya atau tidak," tegas Deline.
Jinan menghembus napas malas. "Nggak."
Deline menanggapi dengan anggukan kecil. "Bagus kalau gitu."
"Kenapa?"
Kali ini Deline membalik ulang pertanyaan itu. "Kenapa?" Ada jeda di sana. "Kalau pun kamu punya pacar sekarang, putusin dia."
Hampir saja Jinan tersedak ludahnya sendiri karena tawa miris yang nyaris keluar.
Bahkan jauh sebelum Mama minta pun, hubungan aku udah selesai karena Mama.
"Karena membawa orang lain di kehidupan kamu... sama saja membawa masalah."
Perkataan ambigu Deline tidak dapat ditangkap jelas oleh Jinan. Tapi sedikit gadis itu mengerti bahwa Deline memang ingin memerangkapnya. Dalam hati ia berdecih, tidak puaskah untuk menyiksanya lebih dalam lagi?
Deline dan segala keegoisannya. Bertindak seolah ia adalah nahkoda yang bebas menggiring hidupnya padahal ia adalah satu-satunya manusia yang mencekik Jinan.
"Bahkan sebelum aku bawa orang lain masuk pun, hidup aku udah bermasalah."
Bibir Deline terkulai tipis, menatapnya dengan pandangan kosong. Jinan tidak mengerti bagaimana dirinya dianggap oleh Ibunya sendiri. Namun ia tidak akan terkejut jikalau ia akan habis di tangan ibunya sendiri.
"Itu kesalahan yang harus kamu tanggung, Jinan."
Di atas pijakannya, Jinan menahan diri untuk tidak diambil oleh emosi. Ia harus ingat yang ia lawan adalah seorang iblis yang manipulatif. Gadis itu mengambil langkah meninggalkan Deline meski ia tahu ibunya belum selesai.
Deline membuang pandangannya.
Memiliki Jinan memang suatu kesalahan.
...
Kelas olahraga baju saja selesai. Beberapa murid melipir ke area kantin dan sisanya memilih ganti baju. Jinan mengambil cola dingin dari kulkas, lalu hendak menutup ketika tertahan oleh sebuah tangan.
Kepalanya mendongak, mengangkat alis bertanya.
"Lo mau bunuh diri minum soda abis olahraga?"
Jinan mengerutkan kening. "Biasanya juga gue gini."
"Ya terus?" Alaska mengambil air mineral dari sana. Sebuah kamera masih menggantung di salah satu bahunya cowok itu. "Emangnya lo pikir hal yang terbiasa malah nggak bahaya?"
Kemudian menutup pintu kulkas. Tanpa menunggu sahutan Jinan, cowok itu melipir membayar pesanannya. Sekilas Jinan melihat cowok bertahi lalat di atas bibir itu bercengkerama dengan teman sekelasnya. Mungkin seingatnya namanya adalah Joe (?)
Sedikit banyak—meski tidak banyak, Jinan tahu tentang murid di luar kelasnya. Entah karena kadang Alaska membawanya—tepatnya, memaksa—untuk berbaur dengan anggota di ekskulnya.
Jinan mendudukkan dirinya di salah satu meja untuk meneguk cola-nya. Dipikirnya, perkataan Alaska hanyalah angin lalu. Rasa hausnya lebih penting.
Jepret.
KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Подростковая литератураHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...